Jumat, 10 Oktober 2008

REDAKSIONER

Editorial Jurnal #3 September 2008
Dalam sebuah koloni semut, sebagaimana digambarkan dalam kisah distopis ‘Antz’, tak satu pun semut pekerja yang memiliki gambaran akan hidup yang lain, selain yang dilakoninya hari demi hari. Hingga suatu hari, Z-4195 - salah satu dari semut, keluar dari sarang dan mendapati dunia lain yang tak pernah hadir dalam imajinasinya sekalipun.

Tak satupun semut lain yang percaya bahwa ada sebuah kehidupan yang lebih indah dan rasional dari yang sedang mereka jalani, selain mengganggap Z-4195 sedang berkhayal. Meski pada akhirnya, seiring waktu dan terdorong atas alienasi, kemonotonan dan penderitaan atas kehidupan yang membelenggu, ucapan Z-4195, “adalah pekerja yang mengontrol produksi”, menemui kebenaran.

***

Dalam masyarakat luas, mencakup pula mereka para aktifitas radikal, gambaran dunia ideal terbatas pada apa yang pernah dan selalu dijejalkan padanya. Takkan ada bayangan sama sekali tentang bagaimana sebuah kehidupan lain dari saat ini, di luar dari apa yang pernah mereka diberikan.
Sejak kecil hingga sekarang, bahkan sejak peradaban ini dimulai, kita selalu dijejali takkan bisa hidup normal tanpa kekuatan yang mengatur dan mendikte hidup kita, diluar kekuatan kita sendiri untuk hidup dengan masyarakat dan lingkungan kita. Dan secara sosial hal tersebut mengendap dan bertransformasi menjadi sebuah moralitas baku -moralitas budak, yang enggan bebas dan tidak percaya dengan dunia di luar apa yang mereka ketahui.
Jurnal ini akan sia-sia saja, bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi mereka yang lebih percaya keotentikan hidup daripada keyakinan membabibuta terhadap sesuatu.
Dari sebuah grup otonom anti-hirarki. Salam!
Makassar, di awal penghujan, September 2008

Label: , ,

NASIONALISASI, HARAPAN ATAU ILUSI?

Umumnya, mereka yang terlibat dalam gerakan radikal kontemporer menyetujui bahwa 'nasionalisasi' - pengambilalihan aset swasta oleh negara, adalah agenda strategis perjuangan melawan kapitalisme. Terdapat optimisme yang kuat di antara pengusung nasionalisasi, bahwa dengan mengambil alih kepemilikan asing yang menguasai sumberdaya alam dan industri, kesejahteraan dapat diraih di depan mata. Jika kelompok Kiri memandang nasionalisasi adalah jalan menuju sosialisme, maka bagi para nasionalis adalah proyek menuju kedaulatan nasional.
Di Indonesia, nasionalisasi bukan isu baru. Sejak tahun 1945, kampanye nasionalisasi sering mengemuka seiring atmosfer nasionalisme, bahkan dipraktekkan pada tahun 50an saat pemerintahan Soekarno membuat Program Benteng yang menyita dan mengambilalih aset-aset kolonial, atau renegosiasi dengan profit sharing 60:40.
Di tahun-tahun ini, isu nasionalisasi kembali diteriakkan salah satunya diinspirasi keberhasilan gelombang gerakan di Amerika Latin yang membangkang terhadap neoliberalisme.
Menurut hitung-hitungan kasar, jika Indonesia mampu mengikuti Bolivia dan Venezuela dengan mengusir korporasi asing dan mengelola sendiri sumberdaya alamnya, paling tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai ilustrasi, cadangan minyak Indonesia sekarang sekitar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial 5,0 miliar. Bila cadangan terbukti dan 50% cadangan potensial diproduksi dengan asumsi harga minyak dipatok $ 150/barel maka Indonesia akan mendulang $ 1.000 miliar atau Rp. 10.000 triliun. Dan jika diasumsikan biaya investasi dan produksi atau renegosiasi sebesar 25%, maka masih ada Rp.7.500 triliun yang tersisa. Dapat dibayangkan betapa besar nilai komoditi minyak Indonesia. Apa yang mengemuka saat ini bukanlah tanpa sebab. Saat ini produksi minyak nasional mencapai 846.000 barel/hari, namun ironisnya hanya 159.000 barel/hari produksi Pertamina, sisanya 687.000 barel/hari atau sekitar 81,2% dikuasai korporasi multinasional.
Belum lagi sekitar belanja sektor migas sekitar Rp. 100 triliun didominasi jasa dan barang asing. Dalam dinamikanya, propaganda nasionalisasi sangat meminimalkan tinjauan khusus mengenai kapasitas dan kontrol proletariat atas produksi, dan terjebak pada fetisisme terhadap kekuatan negara dan ‘borjuasi progresif’ untuk membebaskan proletariat. Terpesona dengan apa yang berlangsung Amerika Latin lantas menjadikannya panduan absolut, salah satunya dengan menempatkan negara sebagai sesuatu yang sakral - tempat segala perubahan digantungkan. Hal ini sekaligus menegasikan peran historis proletariat dalam pengabolisian masyarakat berkelas.
Otomatisasi bahwa nasionalisasi akan membawa kesejahteraan atau menuju sosialisme dan kedaulatan nasional tersebut akan menimbulkan banyak keraguan jika menyebut deretan BUMN lalu mengkorelasikan keberpihakan ekonominya dengan kepentingan masyarakat secara luas. Tidak mungkin menyimpulkan Perhutani berpihak pada petani, karena Perhutani membunuh petani karena me-reclaiming tanah. Begitu pula PT. Perkebunan Nusantara yang di kalangan petani terkenal dengan reputasinya merampas lahan dan merepresi mereka. Sementara PERTAMINA merepresi pekerjanya yang menuntut hak dan transparansi manajemen, disaat bersamaan pekerja PT. TELKOM menolak keinginan manajemen meliberalisasi sektor telekomunikasi nasional. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan milik negara justru bisa menjadi oposisi bagi kepentingan publik.
Dari sini kita bisa melihat bahwa masalahnya tidak terletak pada siapa yang memiliki, asing atau domestik, swasta ataukah negara. Namun watak apa yang terkandung di baliknya. Dan watak sosial lahir dari relasi sosial yang eksis di dalamnya.
Dan pada akhirnya istilah asing juga kembali harus diperiksa, terkait dengan semakin kaburnya definisi maupun lenturnya operasional modal. Toh, kapital tidak lagi memiliki identitas asing dan domestik saat Medco, Bakri Group, atau Kalla Group sama jahatnya dengan Exxonmobil atau Freeport.
Oleh karenanya, iika kita masih (dan senantiasa) berfikir bahwa seluruh taktik dan strategi mesti terus menerus diperiksa secara kritis, maka pembacaan alternatif atas solusi-solusi tersebut tetap relevan dibutuhkan. Demi menghindari absolutisme dan menghancurkan dogmatisme, dan semenjak sebuah strategi mesti mendapatkan kritiknya terus menerus, untuk menjumpai sebuah 'garis tanpa titik balik', maka juga diperlukan penghancuran mitos-mitos yang menyelimutinya.

Hanya dengan itu kita bisa menilai apakah nasionalisasi adalah harapan bagi pekerja, atau hanya ilusi belaka.[]

Label: , , ,

DARI KAPITALISME PRIVAT KE KAPITALISME NEGARA

TINJAUAN ALTERNATIF ATAS AGENDA NASIONALISASI

Tak sebagaimana yang sering diklaim, nasionalisasi tidaklah dengan serta merta menegasikan infrastruktur kapitalis, alih-alih membangun sosialisme. Mari lihat Venezuela, rujukan populer para pengusung nasionalisasi. Meski pemerintahan Hugo Chávez menasionalisasi beberapa perusahaan besar, menggelontorkan $ 13,3 milyar untuk membangun perumahan, program pendidikan dan kesehatan, bukan berarti arus modal dan investasi yang masuk ke Venezuela terhambat. Indikator sederhana ini untuk membuktikan apakah karakter nasionalisasi adalah mengakhiri kapitalisme atau hanya memodifikasinya dengan semangat 'sosialistik'?

Toh, bagi kapitalis, Hugo Chávez bukanlah presiden yang buruk. Tiga tahun Chávez berkuasa, investasi justru melonjak rata-rata $ 3,2 milyar per tahunnya. Bahkan, meski Chávez dengan penuh ekspresi menggembar-gemborkan bahwa Washington adalah musuh politik Caracas dan imperialisme AS hanya akan dilawan dengan Sosialisme Abad 21-nya, hubungan dagang dan ekonomi kedua negara tetap berlangsung normal. Bahkan meningkat pesat! Nilai ekspor Venezuela secara keseluruhan tahun lalu mencapai $ 42 milyar, ini termasuk ekspor minyak sebanyak 1 juta barel/hari. Sementara nilai impor dari Amerika Serikat senilai $ 9 milyar, atau naik 41% sejak 2005. Selain itu keterlibatan perusahaan asing dalam produksi minyak 2,4 juta barel/hari mencapai 40%, meski kontrol minyak berada di tangan perusahaan minyak negara Petróleos de Venezuela (PDVSA).

Keberhasilan lain pemerintahan Bolivarian Chávez adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 11%-12%, seiring peningkatan konsumsi sebesar 18% per tahunnya. Walhasil: penjualan berbagai macam produk seperti Coca Cola, mobil Ford bahkan sedan mewah Mercedes-Benz pun juga meningkat! Pencapaian-pencapaian Chávez jelas membuat para borjuasi kegirangan. Edmond J. Saade, presiden Venezuelan American Chamber of Commerce VenAmCham (kamar dagang) berucap, “Meski secara politik terjadi konfrontasi, toh tidak mempengaruhi hubungan bisnis antara AS dan Venezuela. Bisnis tetap jalan”. Sementara dalam wawancara dengan Reuters, pernyataan pejabat Chevron-Texaco bahwa revolusi bukanlah ancaman bagi perusahaan, nampaknya benar adanya.

Kapitalisme Negara di Venezuela
Pada esensinya, nasionalisasi hanyalah mengubah status kepemilikan swasta/privat menjadi kepemilikan negara, dan bukannya penyitaaan atau pengambilalihan radikal (ekspropriasi) atas aset yang dikuasai kapitalis, untuk dikuasai oleh kelas pekerja. Untuk itu, nasionalisasi di Venezuela pun tidak menghadirkan sebuah 'negasi atas negasi' dari kapitalisme untuk menyulut transformasi menuju tatanan baru. Apa yang dilakukan Chavez justru adalah membeli perusahaan-perusahaan tersebut, disertai kompensasi kepada pemilik lama. Sebuah gambaran kompromis untuk tetap patuh dalam koridor modal. Dengan pengkonsentrasian kapital pada negara, nasionalisasi industri dan sumberdaya alam di negeri tersebut justru memapankan sebuah Kapitalisme Negara secara esensial, bukannya (transisi) menuju sosialisme. Hal itu menunjukkan watak sebenarnya dari sebuah kelas berkuasa, dan terlebih lagi watak alamiah sebuah kekuasaan tersentral.

Untuk melihat bagaimana sebuah nasionalisasi pada intinya tetap merupakan kapitalisme yakni kapitalisme negara, dapat digambarkan dalam beberapa poin utama.

A. Pekerja tetap sebagai Pekerja
Meski nasionalisasi menyingkirkan majikan lama, namun kehidupan pekerja beralih sepenuhnya di bawah kontrol majikan baru : negara. Perubahan kepemilikan dari privat/swasta menjadi kepemilikan negara tidak ada hubungannya dengan perubahan relasi majikan-pekerja dalam proses produksi. Sehingga inti dari nasionalisasi yang dapat kita lihat adalah mengkonstitusionalkan relasi majikan-pekerja tersebut dan memapankan kembali “kerja-upahan”, elemen utama kapitalisme dan satu-satunya mode produksi yang dibolehkan di negeri itu. Hal tersebut menjauhkan dan meredam imajinasi pekerja akan sebuah bentuk kehidupan lain dari saat ini.

Kendati alasannya untuk menjamin produksi tetap berpihak kepada populasi, namun tak mungkin memisahkannya dari konteks bagaimana mengakumulasi 'modal nasional' melalui penghisapan kerja-kerja proletariat.

Melalui relasi tersebutlah eksploitasi terus dikembangkan, dimana dalam kapitalisme hal itu satu-satunya jalan mengakumulasi. Eksploitasi atas proletariat bahkan tergambar di beberapa perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi yang diklaim pemerintah sebagai contoh sukses penerapan manajemen kolaboratif, mulai dari kondisi kerja yang ekstrim hingga status pekerja.
Hal ini tergambar di pabrik aluminium Alcasa misalnya, yang kondisi kerjanya menyebabkan 3000 pekerja tak ubahnya zombie yang terkontaminasi debu aluminium mematikan. Para pekerja tetap melakoninya karena tak punya pilihan lain, demi mendapatkan cukup uang untuk bertahan hidup termasuk saat pensiun kelak. Bahkan saat pihak manajemen mengumumkan 'pengurangan jam kerja' sebuah hal yang sebenarnya progresif, namun para pekerja justru menolak proposal tersebut karena khawatir terjadi perotasian shift kerja baru yang berdampak berkurangnya pendapatan mereka.

Eksploitasi juga nampak lewat sistem kontrak dan outsourcing. Para pekerja kontrak/outsourcing bahkan tidak bisa menikmati fasilitas transportasi, makan di kantin, bonus tahunan, dan ketika sakit upah mereka otomatis terpotong karena ketidakhadirannya. Di pabrik kertas Invepal, Negara menasionalisasi pabrik itu dan menguasainya di bawah sistem ko-manajemen dengan saham 51%. Pekerja ditawarkan 49% saham dengan syarat pekerjanya membentuk koperasi untuk bisa membeli saham perusahaan. Untuk memenuhi tawaran itu, pekerja terpaksa berutang ke bank swasta. Dan pada akhirnya negara memutuskan Invepal disubkontrakkan yang artinya tidak ada kontrak kolektif dengan perusahaan selain kontrak dengan koperasi. Konsekuensinya, mereka tidak berhak mengambil langkah hukum. Saat pekerja mogok, negara tidak punya kewajiban merespon tuntutan mereka dan menganggap hal tersebut ilegal.

Saat para pekerja berinisiatif mengembangkan otonomi dan bentuk-bentuk swa-aktifitas serta organisasi pekerja yang mandiri, ketidaksetujuan negara diekspresikan melalui pemotongan bonus tahunan. Tentu saja pekerja memprotesnya dengan memblokir jalanan dan meminta pembatalan keputusan itu. Namun sekali lagi, masalah status resmi tersebut melemahkan pekerja. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali berharap penyelesaian diprioritaskan pada pengklarifikasian status mereka. “Hal ini selalu saja berakhir sama, tingkat eksploitasi tetap sama dengan yang lalu-lalu”, ujar para pekerja.

Ini membuktikan bahwa nasionalisasi tak juga menjamin perubahan substansial. Pekerja tetaplah proletariat, bertahan hidup dari menjual tenaga.

b. Kontrol Pekerja dan Perencanaan Terpusat
Bertentangan dengan anggapan umum, nasionalisasi di Venezuela berjalan tanpa memberikan penekanan penuh pada pengembangan kapasitas kelas pekerja untuk merealisasikan pembebasannya bahkan justru mengamputasinya. Manajemen kolaboratif (ko-manajemen) bukanlah sebuah relasi produksi baru, melainkan fase lanjut relasi majikan pekerja. Semua pencapaian ekonomi dan kesejahteraan ala Chavez justru memitoskan relasi tersebut, yang membuat Venezuela sebagai fotokopian buram dari negara kesejahteraan ala Keynessian. Dan seperti biasa, semua dijalankan atas nama “mencegah pekerja menjadi kapitalis baru” jika kepemilikan dan kontrol produksi di tangan pekerja.

Pemikiran bahwa pekerja tidak atau belum mampu mengelola perusahaan dan sistem ekonomi secara umum, tergambar dari kebijakan mendudukkan pejabat negara dalam jajaran manajemen perusahaan. Proses perencanaan dilakukan terpusat melalui representasi pemerintah di jajaran manajemen, dengan dalih untuk menselaraskan pembangunan dan sinergitas antar pelaku industri di perusahaan lain. Sebuah upaya yang lebih bercorak Bonapartis ketimbang sosialis.

Dampaknya, manajemen dan pemerintah tak begitu serius mendorong partisipasi pekerja dalam keputusan-keputusan strategis mengenai proses produksi di pabrik atau administrasi perusahaan. Dengan kondisi seperti itu, wajar jika pekerja mengeluh, “Lebih baik tidak mengatakan apa-apa, daripada mendapatkan masalah”, meski mereka mengingkan sebuah respon konkret atas berbagai permasalahan terkait proses produksi maupun transparansi administrasi perusahaan.

Pengambilan keputusan yang sentralistik mendorong pekerja hanyalah obyek eksploitasi untuk akumulasi modal. Pekerja hanya dimintai pendapat soal seragam kerja, kebersihan WC, dan aspek-aspek rutin yang sama sekali bukan inti dari proses produksi. Dikarenakan kepemilikan saham terbesar, negara mendominasi dalam pengambilan keputusan termasuk perencanaan dan manajemen, sehingga pekerja tak memiliki kuasa menentukan apa yang terbaik menurut mereka. Tentu bukan tanpa sebab saat seorang pekerja PDVSA mengekspresikan ketidakpuasaannya dengan bertanya, “Mengapa pekerja PDSVA tidak bisa memiliki pengelolaan di bawah kontrol pekerja?”.

c. Efisiensi dan Persaingan
Meskipun sebagian hasilnya diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat seperti perumahan warga miskin, namun kegiatan produksi tidak lepas dari orientasi pasar dan pertumbuhan. Ini tetap menandakan sebuah corak pembangunan kapitalis, yang pada akhirnya akan merujuk keberhasilannya pada tingkat konsumsi dan pendapatan masyarakat. Di sisi lain, pencapaian-pencapaian struktural dengan pengambilalihan aset privat tidak lantas membuka transformasi sistem produksi. Pada akhirnya, para pekerja di sebuah perusahaan mesti berkompetisi dengan pekerja perusahaan lain di dalam maupun luar negeri untuk merebut pasar, demi upah yang layak.

Konsekuensinya, manajemen menempuh strategi berupa efisiensi. Sebagaimana yang terlihat di Alcasa, mesin-mesinnya sama dengan saat pertama kali pabrik tersebut didirikan 40 tahun yang lalu. Peralatan termodern berusia 20 tahun lebih dan teknologinya sudah ketinggalan jaman, bahkan banyak yang telah rusak sehingga kapasitas produksi jauh di bawah 60%. Ironisnya, meski perusahaan masih dapat memenuhi permintaan pasar, namun harga aluminium di pasaran tetap stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah tingkat kebocoran dana di perusahaan yang sangat besar. Ini menunjukkan, biar bagaimanapun Negara dan manajemen masih saja berorientasi pada efisiensi dan keuntungan - bahasa khas dalam sistem kapitalis, sebagai tujuan akhir dan logika produksi.

d. Penguatan Negara dan Represi terhadap pekerjaPekerja di pabrik SIDOR dan Sanitarious Maracay menjadi bukti bagaimana 'taktik merebut kekuasaan negara' gagal memberikan peluang bagi kelas pekerja bertransformasi menjadi manusia seutuhnya. Saat kesadaran pekerja bergerak maju, bersamaan dengan kondisi obyektif yang sangat menyulitkan kehidupan pekerja, menyulut kesimpulan radikal bagi mereka bahwa tak ada siapapun yang lagi bisa diharap dan ditunggu untuk memberikan kehidupan yang layak selain diri mereka sendiri. Para pekerja menginginkan kontrol atas produksi, termasuk mengontrol kemana mereka memperuntukkan hasil produksi demi membangun masyarakatnya.

Kita bisa menyatakan hal tersebut adalah sebuah pencapaian revolusioner dan radikal dalam rangka menegasikan kapitalisme. Tetapi tidak bagi Negara dan borjuasi birokratik yang berkuasa di dalamnya. Pemerintah, terutama melalui Kementerian Perburuhan yang khawatir tuntutan pekerja akan merembet ke tempat lain, memilih mengambil tindakan represif kepada pekerja sebelum gerakan tersebut menyulut solidaritas dan kesadaran baru bagi pekerja lain.

Karenanya ini justru memberikan kesimpulan lain bahwa nasionalisasi juga adalah alat perangkap bagi gerakan revolusioner, saat mereka tengah berada pada pencapaian radikal dan kesadaran revolusioner, serta militansi yang luar biasa. Pekerja SIDOR misalnya, selain menghadapi birokrasi dua negara, pekerja juga harus berhadap-hadapan dengan manajemen perusahaan dan serikat pekerja. Belajar dari pengalaman sebelumnya, mereka menuntut SIDOR direnasionalisasi sebagai taktik untuk memenuhi aspek legal, serta kendali berada di tangan pekerja. Tapi pemerintahan Chavez tak menggubrisnya dan memaksakan bahwa selain manajemen yang mendudukkan orang-orang pemerintah, tak ada skema lain yang akan dijalankan kecuali nasionalisasi di bawah kontrol negara.

Sementara itu modus lain dipakai di Sanitarios Maracay. Pabrik perlengkapan toilet ini diduduki oleh pekerja yang menginginkan kontrol atas perusahaan. Para okupan telah beraksi 2 tahun lebih sebagai reaksi atas penutupan pabrik dan tidak adanya pembayaran sisa upah. Pekerja paham bahwa satu-satunya cara yang terbaik adalah mengambilalih pabrik tersebut untuk dioperasikan secara kolektif di bawah kendali Dewan Pekerja. Namun dengan cepat gerakan pendudukan disikapi pemerintah dengan dibentuknya serikat pekerja yang sengaja didesain untuk beroposisi dengan pekerja, sebagai perwakilan resmi yang didengar. Tujuannya jelas, menghentikan okupasi pabrik dan berupaya agar pemerintah tetap memegak klik dan mengendalikan pekerja. Dengan skema nasionalisasi, pekerja tak lagi memiliki kuasa dikarenakan status formalnya yang tersubordinasi di bawah kekuasaan negara, dengan ancaman PHK sebagai ganjaran.

Kepentingan Nasional Membutuhkan Tumbal
Pada akhirnya, sebagaimana logika modal, nasionalisasi akan sampai pada ekspansi sebagai tahapan linear dari mode produksi kapitalis. Layaknya sebuah pecut, menghantarkan proyek nasionalisasi sumberdaya alam dan industri strategis bergegas ekspansif demi akumulasi atas nama 'kepentingan nasional'. Kerjasama multinasional yang digagas Chavez seperti pembentukan PetroAmerica dan ALBA, sampai kontrak-kontrak bisnis dengan beberapa korporasi minyak raksasa seperti Chevron-Texaco, Petrobras, British Petroleum, Exxonmobil, Conoco, Total, Statoil dan Shell menyingkap wajah asli pemerintahan Bolivariannya. Kolaborasi Chavez dan barisan pendukungnya dengan modal raksasa tidak saja berseberangan dengan retorikanya - Chavez selalu mengklaim pro masyarakat adat, namun justru menjadikan masyarakat adat itu sendiri dan lingkungan hidup sebagai tumbal.

Masyarakat Wayuu, Bari dan Yukpa membuktikan bagaimana nasionalisasi dan 'kepentingan nasional' mengorbankan masyarakat. Proyek pipa gas alam yang membentang dari Kolombia ke Venezuela demi mengalirkan 150 juta kubik gas perhari telah mengancam penghidupan dan komunitas sosial masyarakat Wayuu. Proyek itu tidak lain kepentingan modal internasional kolaborasi Ecopetrol (BUMN Kolombia), Chevron-Texaco dan PDVSA, dan disponsori oleh InterAmerican Development Bank IDB.
Sementara di pegunungan Tokuka, masyarakat Yukpa tak punya pilihan lain kecuali melawan 'kepentingan nasional' pemerintah Venezuela serta kepentingan modal multinasional Chevron-Texaco yang merusak lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Intensitas konflik dan pilihan hidup-matilah yang membuat mereka mengancam, “Meski hanya dengan panah dan busur, kami akan melawan para penambang jika berani memasuki tanah kami. Jika kami harus mati untuk mempertahankan tanah kami, kami telah siap!”

Melampaui Kapital dan Negara
Pada akhirnya, nasionalisasi sebagai bagian dari tesis-tesis tentang taktik merebut negara, hanya akan berakhir sama di setiap episode sejarah. Samir Amin, Marxis Mesir, mencatat bahwa di beberapa negara yang meski kepemimpinan nasionalnya dipegang oleh kelompok Kiri sekalipun, tak pernah terjadi transformasi menuju sosialisme. Yang ada hanyalah re-kompradorisasi, penguasaan kembali sektor ekonomi strategis oleh negara atau kelas yang berkuasa untuk diintegrasikan kembali dalam sistem ekonomi kapitalis global. Hal tersebut dalam tujuan rekonstruksi nasional demi mempertahankan popularitas rezim yang berkuasa.

Di Venezuela, apa yang berkembang lebih menyerupai Bonapartisme ketimbang embrio Sosialisme Abad 21.

Seorang Hugo Chavez, dan Morales, dan Castro, dan Ahmadinejad, dan siapapun itu, bukanlah orang yang tidak baik, tetapi mereka selalu lupa bahwa upaya mentransformasikan institusi tiran, tidak akan melenyapkan tiraninya.

Bagaimana pun, kapitalisme negara takkan menciptakan sosialisme, melainkan memapankannya. Seabad lampau Friedrich Engels memperingatkan bahwa esensi negara modern tidak lain sebagai mesin kapitalis, atau negara kapitalis, yang merupakan personifikasi menyeluruh atas modal nasional. Semakin kuat mesin tersebut mengambil alih kekuatan produktif, semakin nyatalah perannya sebagai kapitalis nasional, dan semakin banyak pula masyarakat yang dieksploitasinya.

Oleh karenanya, taktik 'mengambil alih kekuasaan negara' menyimpan tiga masalah prinsipil :
a). negara yang diambilalih pada akhirnya tidak bisa menjawab bagaimana menghindari represi dari negara itu sendiri. Chavez yang mengklaim pro-pekerja, toh pada akhirnya memanfaatkan kekuasaannya (yang secara konstitusional dan legal) untuk merepresi dan menindas para pekerja yang tidak sejalan dengannya,
b) nasionalisasi yang berjalan tidak dapat mengembangkan kerja-kerja alternatif atau aktifitas produktif alternatif atas kapitalisme. Sehingga tak ada transformasi dari kapitalisme ke tatanan alternatif nonkapitalis. Kerja-kerja alternatif tersebut justru dikembangkan oleh eksponen gerakan dengan semangat menolak kekuasaan negara,
c) pada akhirnya, proyek nasionalisasi tersebut menghambat eksperimentasi secara konstan dan refleksi untuk pembelajaran, dalam tujuan pembangunan organisasi-organisasi otonom dan mandiri, sebagai antitesa dari wujud organisasi borjuis. Organisasi-organisasi tersebut adalah upaya mengkonstruksi tatanan alternatif, dimana perjuangannya fokus pada tujuan nyatanya yaitu membangun masyarakat baru, bukan negara baru.

Sebagai respon atas kekuasaan borjuis pada negara, taktik 'merebut kekuasaan negara' sungguh hanya merupakan cerminan logika formal ketimbang logika dialektika.

Kini ada pertanyaan baru bagi kelas pekerja di seluruh belahan dunia, termasuk di Amerika Latin. Masih seberapa jauh lagi perjalanan menuju tatanan dunia baru? Butuh berapa pemilu untuk mentransformasikan kehidupan? Berapa banyak presiden dan tokoh elit untuk digantungi harapan demi sebuah pembebasan menyeluruh?

Tak butuh lama untuk mendengar jawabannya. Di beberapa tempat, kelas pekerja telah bergerak melampaui apa yang pemimpin mereka bisa beri. Bahkan menutup ruang bagi berkuasanya para pemimpin yang bersisian dengan perannya sebagai majikan baru, kelak. Mereka mengorganisir diri, melawan kapitalis privat sekaligus kapitalis negara yang senantiasa mengancam kendali mereka atas kehidupan harian, dalam bentuk swakelola ekonomi, tanah dan sosial. Dan bentuk-bentuk swakelola-lah -bukan nasionalisasi atau ko-manajemen, yang memberikan kemampuan dan kepercayaan diri bagi segenap kelas pekerja tersebut, bahwa sebuah bentuk kehidupan baru, tanpa relasi majikan-hamba, dapat terealisasi dan hadir bersamaan dengan keinginan mereka. []

Rujukan :
1.Geri Smith, A Love-Hate Relationship With Chavez. Bussiness Week, Juni 2007
2.Hanna Dahlstrom, Macho Men and State Capitalism - Is Another World Possible? dalam An Anti Autoritharian/Anarchist Perspective about Venezuela´s Situation. El Libertario. Caracas. 2007
3.El Libertario, Myth of Co-Management in Venezuela Reflection on Invepal and Alcasa, 2007
4.Kiraz Janicke, Without Workers Management There Can Be No Socialism October 2007 - Venezuelanalysis.com
5.Jonathan Luna, Crossing the Wayúu: Pipeline Divides Indigenous Lands in South America, Juni 2008. CorpWatch

Label: , , , , , ,

SWAKELOLA SEBAGAI ALTERNATIF RADIKAL

Bila agenda nasionalisasi tidak mencukupi untuk menghadirkan pembebasan bagi proletariat [1], adakah alternatif radikal yang dapat diambil? Tentu saja alternatif tersebut dimaksudkan untuk menghapuskan fitur-fitur, watak dan keseluruhan sifat menghisap dari sebuah sistem produksi dan konsumsi yang eksis ini. Secara singkat, agenda utamanya adalah menegasikan keseluruhan sistem kapitalisme, tanpa ragu-ragu dan setengah-setengah. Oleh karena kapitalisme eksis berdasarkan 'kerja-upahan' untuk memproduksi komoditi, dan hal tersebut hanya dimungkinkan lewat sebuah relasi sosial dan ekonomi yang hirarkis - seperti majikan-pekerja, maka untuk menegasikannya, sebuah relasi sosial sekaligus ekonomi harus diorganisir melampaui bentuk-bentuk awalnya. Dan sebuah alternatif radikal yang dimaksud dapat dijumpai dalam bentuk self-management atau swakelola.
Swakelola pekerja (workers self-management) adalah suatu model dalam mengoperasikan tempat kerja tanpa majikan atau manajemen hirarkis yang baku. Sebagai gantinya, tempat kerja tersebut dijalankan secara demokratis oleh pekerjanya. Dengan demokrasi, bukan berarti bahwa para pekerja memilih seorang manajer untuk membuat keputusan kepada mereka. Tetapi para pekerja memutuskan sendiri apa yang akan mereka lakukan sebagai sebuah kelompok. Tak seorang pun dalam badan usaha yang dikelola secara mandiri, memiliki kontrol terhadap pekerja lainnya kuasa dalam menentukan setiap keputusan ada di tangan setiap pekerja secara setara.

Swakelola yang dimaksud juga bukanlah sebagaimana 'kontrol pekerja' (worker's control) yang berada di bawah kapitalisme privat atau pun kapitalisme negara, yang hanya spekulasi mengenai hak kontrol pekerja dalam menentukan segi-segi tertentu dalam produksi, seperti memilih wakil pekerja untuk bernegosiasi dengan manajer dalam memutuskan urusan-urusan bagaimana sebaiknya agar produksi tetap berjalan. Juga tidak seperti yang dipraktekkan di Yugoslavia ala rezim Komunis yang menempatkan pekerja sebagai pemegang saham dalam perusahaan kapitalis yang menghasilkan berbagai komoditi untuk bersaing dengan komoditi lain dalam sebuah ekonomi pasar, dan berhak memilih sebuah komite direksi untuk mengelola perusahaan, tentu saja di bawah kontrol ketat Partai berkuasa dan birokrasi negara.

Swakelola adalah negasi atas sistem produksi kapitalis, dengan mengenyahkan seluruh relasi hirarkis dan sistem kerja-upahan. Dengan mengacu pada kesatuan sistem ekonomi, swakelola berarti pola manajemen langsung oleh produsen, mulai dari proses produksi, distribusi hingga komunikasi dengan komunitas atau masyarakatnya.

Swakelola bukan sebuah konsepsi abstrak yang utopis. Dalam sejarah, swakelola telah hadir berulang kalidi Russia pada 1905 dan 1917, di Spanyol pada 19361937, di Hungaria pada 1956 dan Aljazair pada 1960 serta Chili pada 1972 hingga di Argentina pada 2001. Bentuk organisasi yang paling sering dibangun sebagai praktik dari swakelola adalah Dewan Pekerja (Soviet).

Pekerja dalam sebuah pabrik, sistem transportasi, komunikasi, dsb, membentuk sebuah badan umum yang kemudian memilih komite-komite yang berisi delegasi-delegasi untuk menangani tugas-tugas khusus, termasuk pertahanan diri dan koordinasi dengan perusahaan lain yang juga telah dikuasai oleh para pekerjanya. Pengoperasian perusahaan lantas dimulai kembali di bawah manajemen pekerja dan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan yang didefinisikan oleh mereka - tentu saja, selama sebuah krisis revolusioner, sektor-sektor terpenting adalah produksi pangan, senjata, sumber daya listrik, keberlanjutan urusan medis, telekomunikasi dan layanan transportasi.

Setiap tempat kerja yang diswakelolakan berjalan berdasarkan pertemuan langsung (face to face) antar pekerja dalam sebuah dewan pekerja. Pekerja di setiap perusahaan mengambil keputusan kolektif berbasis demokrasi langsung, baik one-man-one-vote atau melalui konsensus. Ini mesti berlangsung di seluruh divisi atau unit kerja terkecil dari bawah, dan pada akhirnya mencakup keseluruhan tempat kerja.

Dalam mengkoordinasikan kerja-kerja harian di tingkatan basis atau unit kerja, dilakukan lewat pertemuan Dewan Pekerja di tiap divisi atau unit kerja, yang fungsinya membicarakan masalah kerja dan mengambil keputusan harian. Tiap divisi/unit kerja mengirimkan delegasi dengan mandat khusus ke sebuah 'komite kerja', untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka dengan unit kerja lainnya. Yang harus diingat, delegasi bukanlah manajer profesional, tetapi pekerja biasa yang beraktifitas di tempat/unit dimana mereka didelegasikan dengan mandat dari pengutusnya. Setelah menjalankan tugasnya, delegasi akan kembali kepada dewan untuk melaporkan hasilnya, yang mungkin bisa dilanjutkan dengan mengambil keputusan baru. Setelah pertemuan dewan pekerja usai, delegasi pun kembali ke aktifitasnya seperti anggota lainnya.

Delegasi dapat di-recall atau diganti kapan saja bergantung pada pekerja. Dan sebuah 'komite kerja' yang dimaksud bukanlah manajemen sebagaimana bentuk perusahaan-perusahaan kapitalis, mereka tidak membuat sebuah keputusan agar pekerja mengerjakannya. Komite tersebut hanya berfungsi sebagai badan komunikasi antar unit-unit kerja. Komite bukan pula sebuah badan permanen, sejak pendelegasian di tiap unit kerja dapat dilakukan setiap pertemuan, sehingga setiap pekerja dapat menjalankan peran tersebut.

Swakelola menghapuskan pembagian kerja permanen antara manajer dan pekerja. Pada prinsipnya, mereka yang melakukan kerja produktiflah mulai dari membuat, merancang, merawat peralatan, mengumpulkan informasi, mengalokasikan peruntukan, dan seterusnya, yang memanajemeni kerja-kerja mereka sendiri. Swakelola bermakna pekerja mengelola pekerjaan mereka secara mandiri, oleh karenanya tidak diperlukan lagi manajer professional ataupun manajemen hirarkis.

Swakelola pada esensinya bertujuan dalam penghapusan kerja-upahan dan komoditi ekonomi, dan tentu saja alienasi atas pekerja -yang selalu berlekatan dengan kerja-upahan. Ini juga berarti pekerja mesti menghapuskan dirinya (sebagai pekerja-upahan/proletariat) saat mereka menghapuskan seluruh tatanan masyarakat berkelas. Dalam prakteknya, swakelola meniscayakan penegasian keberadaan negara dan kapital, dikarenakan kedua hal tersebut menjadi irasional dalam praksis manajemen langsung. Oleh karenanya pada prinsip yang berjalan, swakelola tidak mengizinkan semua kekuasaan yang terpisah atas mereka yang terlibat. Karena sebuah model manajemen langsung, swakelola diterapkan dengan sistem Demokrasi Langsung tanpa kecuali, dimana pendelegasian berlangsung secara ketat untuk menghindari sentralisasi kekuasaan dan manipulasi [2]. Dan pada akhirnya diperlukan sebuah badan koordinasi masyarakat secara luas, namun seluruh anggotanya tetap di bawah mandat dengan ketat, sehingga fungsi mereka terbatas pada komunikasi umum.

Merujuk di masa lampau, pencapaian-pencapaian tertinggi dewan-dewan tersebut telah membuat seluruh kekuasaan negara tidak lagi dibutuhkan -kesalahan utama mereka di masa lampau (dengan pengecualian khusus atas para pekerja dan petani Spanyol di Catalonia pada 19361937) terletak pada ketidaksadaran akan hal ini dan dengan demikian dapat dengan mudah dihancurkan oleh kekuatan bersenjata yang masih tersisa dari para penyembah kekuasaan negara.

Lalu bagaimana pembentukan kekuasaan negara baru dapat dihindari dengan cara ini? Pertama, tentu saja, dengan cara mengenyahkan seluruh “partai politik revolusioner” sekalian dengan kelompok-kelompok reaksioner. Kedua, dengan memastikan bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan badan-badan umum para pekerja dan komuniti, dan hanya di tangan mereka sajabadan-badan umum tersebut sendiri adalah dewan-dewan dan bukan sekedar komite-komite delegasi yang mendapat amanat dari keseluruhan dewan.

Pada akhirnya mesti dipahami bahwa keberhasilan swakelola terletak pada kesadaran proletariat di tingkatan individu, akan sebuah hasrat yang mendalam bagi penciptaan sebuah hidup yang bebas, kreatif dan menyenangkan di bawah kontrol mereka sendiri. Di tingkat kolektif, isi berarti apa-apa yang harus diswakelolakan.

Swakelola juga tak bisa lagi hanya terbatas pada tembok-tembok pabrik. Pertama-tama, harus dibentuk juga dewan-dewan ketetanggaan dan masyarakat yang terdiri dari mereka yang selama ini tak mendapatkan upah atas kerja mereka (ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar dan anak-anak sekolah) yang pada gilirannya juga akan memilih delegasi dan bekerja dalam tim bersama dewan-dewan pabrik, komunikasi, transportasi dan lainnya.

Tentu saja semua itu baru awal dari perjalanan jangka panjang swakelola agar dapat berhasil diterapkan di tingkat global pasca kemenangan dewan-dewan federasi atas kekuasaan seluruh negara yang eksis, sehingga sesuatu yang baru bisa tercipta dengan lebih menggairahkan dan menakjubkanperubahan-perubahan yang bahkan kita sendiripun sekarang tak akan mampu membayangkannya.

Secara empirik, semua ini bukanlah sebuah ide abstrak atau rencana besar utopis yang harus diinjeksikan ke dalam pikiran “massa”. Nyaris semua yang dijabarkan di atas pernah dilakukan dan terutama formasi dewan-dewan, federasi yang dimandatkan dengan ketat, delegasi-delegasi yang dapat dengan mudah dicopot dan diganti, dan upaya-upaya mentransformasikan lingkungan sosial bukan hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Swakelola memperlihatkan penampakan awalnya yang kecil tetapi jelas di ruang-ruang kerja oleh para pekerja di ribuan pabrik di mana-mana, dalam bentuk pendudukan pabrik dan pemogokan. Mengutip kata-kata Marx, swakelola adalah gerakan nyata yang akan menghapuskan segala bentuk tatanan yang eksis saat ini. []

Catatan :
[1]. Proletariat yang dimaksud disini tidak terbatas pada buruh pabrik dan pekerja industrial saja. Saat 'pabrik' dalam kapitalisme lanjut adalah keseluruhan masyarakat dalam konsepsi 'pabrik sosial', yakni dimana keseluruhan masyarakat diorganisir dalam relasi majikan-pekerja, baik yang diupah maupun tidak diupah, produktif maupun non-produktif, serta kerja yang dimaksud mencakup hingga aktifitas domestik dan non-komersil, maka definisi proletariat juga mesti diperluas. Ini juga mencakup petani, mahasiswa, ibu rumah tangga, pengangguran, hingga masyarakat adat. Untuk lebih jelas tentang redefinisi proletariat dan konsepsi Pabrik Sosial sebagai model kapitalisme lanjut baca Jurnal Kontinum #2, Mei 2008.

[2]. Demokrasi Langsung sebagai oposisi terhadap Demokrasi Perwakilan/representatif. Lebih jelas soal Demokrasi Langsung baca Jurnal Kontinum #1, Februari 2008.

Label: , , , , , ,

PARA PEKERJA TANPA MAJIKAN

POTRET SWAKELOLA DI ARGENTINA

Tahun 2001, Argentina guncang. Krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis politik menyebabkan situasi menjadi tidak terkendali. Hal tersebut adalah dampak dari diterapkannya ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) yang memaksa seluruh kelas pekerja semakin miskin dan menderita. Hasilnya adalah kemiskinan yang luas biasa, sekitar 50% pengangguran dan kelaparan. Puncaknya saat ribuan pabrik dan perusahaan ditinggal tutup oleh pemiliknya atas alasan stabilitas. Akibatnya jutaan orang kehilangan pekerjaan.

Bangkrutnya perekonomian Argentina tidak serta merta membangkrutkan kesadaran kelas pekerja di negeri itu. Kelas pekerja Argentina yang sejak beberapa tahun sebelumnya berjuang, terus bangkit dan mengancam secara serius kekuasaan negara bayangkan lima pemerintahan dijungkalkan hanya dalam tiga minggu! Inilah yang kemudian menjadi momentum penyebaran perlawanan meluas ke seantero negeri. Pemberontakan tersebut merupakan reaksi dari krisis ekonomi dimana bank-bank, monopoli kapitalis, IMF dan intervensi AS serta politisi Argentina telah menjadi penyulutnya.

Pemberontakan kelas pekerja Argentina terus berlanjut namun justru mengambil bentuk berbeda. Tidak seperti kebiasaan menekan pemerintah dan kaum kapitalis untuk memenuhi tuntutan mereka, kelas pekerja justru bergerak lebih jauh melampaui metode dan taktik moderat tersebut. Mereka menduduki dan mengambilalih perusahaan dan pabrik. Dan melampauinya sekali lagi : mereka mengoperasikannya tanpa eksistensi majikan, manajemen birokratis, atau campur tangan negara dan pemerintah dalam urusan produksi. Sebuah bentuk swakelola dimana kontrol atas proses produksi dan manajemen perusahaan sepenuhnya berada di tangan pekerja.Pabrik pertama yang diambil alih adalah YaguanE, sebuah perusahaan penyimpanan dan pendinginan (cold storage) di tahun 1996, dan menyusul IMPA di tahun 1998. Berikutnya di tahun 2000, 90 orang pekerja logam dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja, mereka lalu membangun UniUn y Fuerza (Unity and Strength) atau Persatuan dan Kekuatan, sebuah komite pekerja yang berupaya membangun unit produksi mandiri.

Pada kesempatan berikutnya, sebuah pabrik keramik di distrik NeuquEn, Zanon, menyusul direbut oleh pekerja dan dioperasikan di bawah kontrol para pekerjanya. Dalam kesempatan pertama, Zanon mempekerjakan 500 orang (dan kini beroperasi dengan nama FaSinPat, singkatan dari Pekerja Tanpa Majikan), lalu kemudian memicu gejolak sosial yang berkembang sebagai harapan baru di Argentina yang tengah papa. Lebih dari 1200 tempat kerja diambil alih para pekerja dan mempekerjakan kembali 10.000 orang.

Berlawanan dengan tradisi, para pekerja beraksi tanpa instruksi serikat pekerja (birokratis) maupun partai-partai politik. Mereka bergerak secara otonom dan membangun sistem koordinasi horizontal, dengan menyerukan pengambilalihan sistem produksi di bawah kontrol pekerja di setiap pabrik/perusahaan yang telah memecat pekerjanya atau yang berupaya menutup perusahaan tersebut. Tanggal 22-23 Juni 2002 dimulailah gelombang aksi tersebut, yang kemudian terus membesar dan semakin membesar.

Di Buenos Aires, sebuah pabrik tekstil Brukman diduduki pekerjanya. Sang majikan kabur dan meninggalkan upah yang tidak dibayarkan selama beberapa bulan. Preman bayaran lalu dikerahkan untuk mengambil alih pabrik tersebut. Para pekerja berjuang untuk mempertahankan pabrik tersebut dan bahu-membahu dengan gerakan pengangguran dan proletariat jalanan bernama “Piqueterro”. Ini pula yang menjadikan gerakan kelas pekerja di Argentina begitu khas dan revolusioner dimana seluruh kelompok kelas pekerja saling bersolidaritas dengan menjaga otonomi masing-masing.

Pendudukan dan pengambilalihan juga berlangsung pada perusahaan gelas, pabrik es krim, hotel, rumah potong hewan, pabrik daging olahan, peralatan rumah tangga, sepatu, pakaian, bahkan beberapa perusahaan yang membutuhkan keahlian dan kecakapan khusus.

Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah bentuk hubungan sosial baru dibangun. Para pekerja mempraktekkan swakelola, dimana pekerja mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis pemilik lama, politisi dan partai politik, serta negara.

Manajemen dalam perusahaan swakelola didesain horizontal, setara. Menghindari munculnya kelas birokrasi yang terpisah dari pekerja. Posisi-posisi dalam produksi diisi secara sukarela, atau diatur berdasarkan kemampuan. Untuk beberapa posisi vital, seperti Juru Bicara (Public relation) mereka menggilirnya untuk mencegah sentralisasi kekuasaan. Begitu pabrik direbut, para pekerja memahami bahwa agenda pertama yang mesti dikawal adalah membangun kembali Dewan Pekerja di tiap-tiap pabrik, divisi, unit dan bagian. Proses yang ditempuh dalam pengambilan keputusan adalah Demokrasi Langsung, baik melalui konsensus maupun pemilihan secara terbuka. Rapat-rapat umum diselenggarakan secara reguler, untuk membahas perencanaan dan pengambilan keputusan. masing-masing divisi, unit atau bagian mengirimkan delegasinya. Begitupun pada komite antar perusahaan, masing-masing pabrik mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di tingkat wilayah.

Gaji yang diberikan sama besarnya untuk semua posisi. Dalam pengalaman manajemen non-hirarkis tersebut, perusahaan telah melakukan efisiensi dengan menekan pos-pos pembiayaan yang tidak perlu. Para pekerja mengaku sangat puas dengan model swakelola. Di era sebelumnya, perusahaan mengalokasikan 65-70% anggaran untuk gaji majikan dan manajemen. Dengan model swakelola, kesejahteraan pekerja lebih merata.

Pekerja menyadari bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam menerapkan kontrol pekerja, dikarenakan tekanan-tekanan kaum pemodal yang memakai alatnya: negara, untuk menghancurkan gerakan dan kekuatan pekerja. Namun, para pekerja Argentina tetap meyakini bahwa harapan mereka tidak bisa diwakilkan pada politisi, partai maupun presiden demi presiden yang berkuasa di negeri itu. Tidak juga kepada selebriti seperti Maradona.

Di tengah keterbatasan tersebut, mereka mengenyampingkan tekanan negara yang terus menerus berupaya mengusir pekerja dari pabrik untuk kemudian diambil kembali oleh para kapitalis. Negara dan perangkat militerisnya memang menjadi alat ampuh bagi orang kaya untuk mendominasi perekonomian.
Peralatan tua dan suku cadang yang langka telah memaksa penurunan produksi karena mereka tidak bisa memperbaikinya. Namun ini justru menginspirasi para pekerja untuk membangun jaringan dan solidaritas internasional agar dapat menyelesaikan keterbatasan ini. Mereka berkomunikasi lewat internet dan jaringan radio untuk mencari suku cadang maupun tenaga teknisi untuk membantu mereka.

Masalah lainnya adalah rendahnya permintaan, dimana dalam logika umum kapitalisme, dapat membahayakan keberlangsungan ekonomi. Sebagai jawabannya, para pekerja membangun perekonomian yang relatif mandiri dimana hasil produksi disalurkan ke masyarakat sekitar melalui Dewan Warga. Saling suplai kebutuhan juga berlangsung antar perusahaan. Pertukaran barang dan jasa ini telah dengan telak menghempaskan peranan uang, meskipun hanya dalam jangka beberapa tahun sebelum mereka direpresi oleh kolaborasi kapital dan negara.

Swakelola telah membangun harapan baru pekerja Argentina. Bukan saja pada perbaikan ekonomi yang relatif membaik sejak krisis, namun juga peluang untuk membangun dunia baru tanpa dominasi dan kontrol terbuka lebar. Mematahkan mitos-mitos lama bahwa hanya buruhlah (pekerja industrial) satu-satunya kelompok yang dapat membangun gerakan revolusioner, di Argentina semua elemen proletariat memiliki kontribusi yang sama kuatnya. Hal tersebut salah satunya berkat model swakelola yang memungkinkan partisipasi semua kelompok dan sektor lebih merata.

Para pengangguran dan proletariat jalanan (piqueteross) mengorganisir pendudukan dan sabotase ekonomi kapitalis secara otonom. Mereka menjadi tulang punggung radikal bagi gerakan ini. Dengan membangun organisasi otonom, aktifitas mereka pun dikendalikan secara swakelola.

Para jurnalis dan praktisi media mengorganisir saluran-saluran Televisi untuk digunakan sebagai alat kampanye dan informasi komunikasi gerakan. Mereka juga mengorganisir diri secara otonom, dan membangun struktur non-hirarkis. Para guru dan pelajar juga menduduki sekolah-sekolah dan kampus, mengujicobakan pengelolaan pendidikan di tangan komunitas. Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan pusat-pusat kesehatan, serta dapur-dapur umum yang kesemuanya dikelola secara otonom.

Mereka membangun solidaritas dengan buruh-buruh pabrik, karyawan-karyawan di perusahaan yang telah diduduki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan Komite Popular, dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat dalam struktur yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Dimana peran politisi, partai dan negara sekalipun sama sekali tidak dibutuhkan!

Meski begitu, kelas pekerja Argentina membutuhkan oto-kritik terus menerus untuk menghadirkan kemajuan gerakan. Bermula dari keretakan di antara mereka yang terlalu banyak bergantung pada politisi dan kelas menengah. Dua front besar MNFR dan MNER pecah disebabkan perbedaan mereka dalam menyikapi tekanan kapitalis dan negara. Para pekerja yang lengah akhirnya disusupi para politisi Kiri untuk membawa mereka ke arena politik parlementariat. Pada kenyataannya memang pabrik dan perusahaan serta komite-komite komunitas secara konsisten diterpa tekanan dari pemerintah dan kapitalis. Lewat jalur hukum, negara memperkarakan status perusahaan yang diambil alih para pekerja.

Dan akhirnya meski gelombang represi militer dan milisi sipil bayaran kapitalis terus menghantam membuat beberapa perusahaan swakelola akhirnya kalah, namun masih banyak yang terus beroperasi dengan sistem swakelola pekerja (worker's self-management). Mereka terus mempertahankan otonominya dan hubungannya dengan masyarakatnya, dan telah melampaui dua wajah kapitalisme privat maupun kapitalisme negara. []

Label: , , , , ,

TERPERANGKAP DALAM PABRIK TANPA DINDING

Editorial Edisi #2

Tak banyak yang hendak kami sampaikan dalam kolom ini. Dikerjakan bertepatan setelah beberapa hal darurat terjadi di kolektif kami. Dengan tensi yang sedikit berbeda, kali ini kami ingin menemanimu menyeruput teh manis dengan sebuah topik tentang pabrik tanpa dinding. Yeah... sebuah penjara yang tak kunjung terlihat. Tuntutan demi tuntutan, slogan demi slogan yang diperjuangkan tak mampu menembus penjara ini, bahkan semakin menebalkan dindingnya.

Ishmael membuka wacana awal tentang konstruksi sosial yang menurut kalangan otonomis dan anti-otoritarian kontemporer disebut sebagai Pabrik Sosial. Analisis penting datang dari Alisa yang menguliti ‘keluarga’ sebagai narasi tak tergugat. Lalu Nelson membeberkan instrumen dan mesin-mesin dalam Pabrik Sosial berupa institusi sosial. Konsekuensi perpsektif dan sudut pandang atas Pabrik Sosial dikupas duet Alfonso dan Ali Topan, yakni memahami dan mendialektiskan pemahaman kita atas makna proletariat hari ini. Si Cakep Maximus Celeste membingkai kehidupan harian kita-para pekerja, sebagai contoh keterjebakan yang massif atas tegaknya kapitalisme. Dan akhirnya Bahar dan Josh menawarkan sebuah alternatif dan referensi gerakan anti-kapitalis non-otoriter sebagai rujukan gerakan lokal melawan neo-liberal.

Akhirnya, selamat menikmati hidupmu dan Panjang Umur Proletariat!

Label: , ,

YANG MAHA LUAS DAN MAHA BESAR

oleh : Ishmael Yahalah

Bukan tentang tuhan, bukan! Tapi sebuah pabrik yang begitu besar dan luas. Di dalamnya terdapat begitu banyak orang yang bekerja. Dan bekerja adalah satu-satunya cita-cita dalam kehidupan pekerjanya, melampaui hidup itu sendiri. Menyedihkan!

Hari belum terang dan embun belum juga menguap. Di sebuah rumah kompleks perumahan sederhana pinggir timur Kota Makassar, sebuah aktifitas yang tiap harinya sama persis, kembali diulangi. Zulkarnain, 34 tahun, karyawan sebuah perusahaan swasta terkemuka di Sulawesi Selatan, telah bersiap berangkat kerja.

Ia bangun sejam sebelumnya, shalat subuh dan menonton berita pagi di televisi sambil menikmati kopi susu buatan sang istri. Arniati, 30 tahun, bangun lebih pagi lagi karena mesti mempersiapkan sarapan dan kebutuhan suami. Hari ini seragam Zulkarnain mesti disetrika, “Biar rapi dan tidak dimarahi bos”, begitu katanya.

Setelah Zulkarnain berangkat, Arniati juga mesti mengurus Aldi, 7 tahun, yang mesti ke sekolah. Anaknya yang baru kelas dua SD itu mesti sarapan, dimandikan, dan diantar ke sekolah.

Rutinitas itu diulang tiap hari. Zulkarnain tiba di rumah hampir pukul 6 petang. Seharian kerja telah membuatnya penat dan lelah. Menonton TV menjadi pilihan hiburan paling murah meriah. Jalan-jalan ke mal biasanya dilakukan di akhir pekan, tapi tidak setiap pekan. Selepas semua itu, Zulkarnain yang lelah seharian bekerja harus istirahat agar keesokan hari terus bisa bekerja.

Keluarga Zulkarnain adalah gambaran umum keluarga masa kini. Kehidupan harian yang keesokan harinya dipertahankan untuk terus bekerja agar dapat bertahan hidup.

Siapakah kelas pekerja hari ini?
Terutama kalangan Kiri tradisional, pandangan umum tentang kelas pekerja adalah para buruh industrial, atau kerah biru yang bekerja di pabrik. Kadang pula memasukkan pekerja non-industrial seperti perawat dan kerah putih.

Jika memakai perspektif tersebut berarti hanya Zulkarnainlah yang berkontribusi pada proses produksi. Statusnya sebagai pekerja upahan jelas berbeda dengan Arniati yang tidak memiliki majikan, apalagi anaknya yang belia. Zulkarnain bekerja dan menghasilkan nilai-lebih, sementara Arniati sama sekali tidak menghasilkan kapital, pula tidak berada dalam hubungan produksi.

Definisi tersebut jelas gagap ketika diperhadapkan pada perkembangan kapitalisme yang semakin canggih dan tidak lagi hanya beroperasi di pabrik maupun tempat kerja. Definisi tersebut menjebak pada pembagian kelas antara yang 'tereksploitasi' dan kelompok yang 'tertindas'. Sang suami yang tereksploitasi, sementara si istri 'sekedar' tertindas. Saat sepasang suami-istri berada dalam himpitan hidup yang sama, penindas yang sama, dan kemonotonan hidup yang sama, berkat definisi yang ortodoks mereka dipisahkan berdasarkan kepentingan ekonomis.

BOX : Perkembangan Kapitalisme Berdasarkan Komposisi Pekerja

A. Era Pertama adalah era 'pekerja profesional', sejak pertengahan abad 19 hingga meletusnya Perang Dunia. Periode klasik industrialisasi ini didominasi oleh pekerja produktif (yang memiliki keahlian). Misalnya sebuah pabrik mobil yang akan memproduksi mobil, diisi oleh pekerja yang memang ahli membuat mobil bagian demi bagian. Setiap pekerja saat itu pandai membuat mesin, body, hingga kemudi. Namun karena tenaga produktif masih relatif sedikit, maka hasil produksi juga relatif terbatas.
B. Era Kedua adalah era 'pekerja massal', berkembang menjelang tahun 20-an hingga akhir 60-an. Ciri-cirinya proses kerja semakin terspesialisasi, mengkhusus, mengalienasi, dan menghasilkan produk secara massal. Kombinasi Taylorisme, Fordisme dan Keynessianisme. Misalnya ditemukannyacara produksi yang efisien, massal, dan hanya membutuhkan sedikit pekerja ahli. Seorang pekerja tidak perlu ahli mesin, dia hanya cukup mengerjakan roda karena yang membuat mesin juga tidak perlu mengetahui tentang ban. Untuk membuat lebih mudah lagi, para pekerja bagian ban pun terbagi hingga level paling kecil, seperti misalnya hanya untuk memasang baut. Sehingga setiap orang tanpa keahlian khusus dapat diserap dalam kerja-kerja massal.
C. Sementara era ketiga, yakni zaman sekarang adalah era 'pekerja sosial'. Era ini ditandai dengan peleburan pabrik ke dalam masyarakat yang dikenal dengan konsep “Pabrik Sosial”. Masyarakat atau kehidupan sosial disetting sebagaimana pabrik fisik/mekanik. Dalam era ini kerja dan pekerjanya tidak hanya di pabrik/kantor namun meluas ke seluruh dimensi kehidupan sosial, dan seluruh aktifitas telah dikonversi menjadi 'kerja' untuk mereproduksi kapital. Sebuah mobil tidak diproduksi di pabrik atau kantor saja, tetapi melibatkan kehidupan domestik dan sosial yang turut berkontribusi melalui reproduksi tenaga kerja.

Pabrik Sosial dan Sosialisasi Pekerja
Mario Tronti memberikan catatan awal bagaimana kapitalisme bertranformasi, bahwa “hal paling maju dari kapitalis adalah bahwa produksi nilai-lebih (surplus value) berlangsung dimana-mana, melampaui sirkuit 'produksi-distribusi-pertukaran-konsumsi' yang terus berkembang; ini juga berarti hubungan antara produksi kapitalis dengan masyarakat borjuis, antara pabrik dengan masyarakat, antara masyarakat dengan negara, semakin melebur. Puncak perkembangan kapitalis adalah saat hubungan sosial menjadi hubungan produksi, dimana keseluruhan masyarakat menjadi perwujudan proses produksi. Singkat kata, keseluruhan kehidupan sosial tidak lain berfungsi sebagai pabrik, dimana pabrik memperluas dominasi kapital atas keseluruhan masyarakat”.

Jika kapitalisme lampau diidentikkan dengan pabrik karena saat itu hanya pabriklah satu-satunya tempat kapitalis mengakumulasi kapital. Di pabrik atau pun kantor, majikan berkuasa penuh terhadap kehidupan pekerja. Menerapkan aturan, mendisplinkan, memperkerjakan dan memecat, serta mengambil keputusan tentang proses produksi bahkan ke seluruh kehidupan para pekerja. Setelah bel pulang dan melewati gerbang pabrik, kehidupan pekerja tidak lagi tersentuh dengan kekuasaan majikannya meski tidak sepenuhnya bebas karena harus menjalani kehidupan dalam hirarki dan dominasi dalam bentuk lain.

Pekerja hari ini adalah mereka yang berpartisipasi dalam reproduksi kapital. Tidak lagi dibatasi oleh dinding pabrik atau kantor, karena proses penciptaan kapital-kapital baru telah melebar ke kehidupan sosial, tidak lagi sekedar di tempat kerja. Pekerja juga disosialisasikan pada level sosial. Masyarakat menjadi pekerja bukan (saja) oleh rekrutmen formalmelamar, mengisi lowongan kerja, dst, tetapi melalui konversi kehidupan sosial menjadi sebuah pabrik.

Kehidupan Sebagai Kerja
Apa yang menjadi ciri khusus dalam Pabrik Sosial adalah keseluruhan kehidupan individu maupun sosial bermakna sebagai kerja, yaitu kerja untuk menciptakan kapital baru. Hampir tak satu pun aspek dalam hidup yang bukan merupakan kontribusi untuk penciptaan kapital baru. Kehidupan diposisikan berada di bawah kerja. Ini membuat sebagian besar waktu kita untuk 'bekerja'. Apa yang kita kenal sebagai kegiatan pasca-kerja, justru merupakan aktifitas kerja yang pasif. Aktifitas lain selain kerja direduksi menjadi hanya sekedar rekreasi (pemulihan). Perhatikan bagaimana 'waktu kerja' dan 'waktu luang' adalah hal yang tidak berbeda, sama-sama menciptakan kapital baru melalui produksi dan konsumsi.

Dalam kehidupan sosial, rekreasi, kesehatan dan kesejahteraan, hingga pendidikan tidak lain sebagai hal yang dirancang untuk menunjang keuntungan kapital. Instrumen tersebut berfungsi untuk merawat kondisi sosial agar tetap tegak dan normal, demi vitalitas dan maksimalisasi kerja para pekerjanya.

Domestikasi Kerja dan Manufakturisasi Sektor Domestik
Kapital tidak perlu memerlukan tembok dan dinding raksasa di level sosial untuk membangun pabrik fisikal. Dalam rangka penciptaan tenaga kerja baru misalnya, keseluruhan rangkaian produksi cukup diintergrasikan dalam kehidupan domestik/rumah tangga. Dalam kehidupan domestik, tersedia tenaga kerja murah (bahkan gratis) dengan model pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah.

Khususnya kaum perempuan, mereka bisa mengerjakan berbagai peran misalnya melahirkan generasi baru pekerja masa depan, membesarkan, mencukupi kebutuhan hidupnya, melayani suami (baca: pekerja) agar dapat kembali bekerja keesokan harinya. Mereka juga mesti mengatur keuangan keluarga agar tidak terjadi inflasi. Kesemua pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut tidak diupah, dan bertindak sebagai tenaga tak diupah bagi kapital.

Kehidupan domestik (keluarga inti) adalah landasan pembentuk nilai masyarakat kapitalis, disemaikannya pemberhalaan kerja sebagai satu-satunya narasi yang layak.

Komposisi Pekerja Sosial
Dalam Pabrik Sosial, pekerja tidak lagi dibedakan atas diupah atau tidaknya mereka, produktif atau tidak produktifnya. Ibu rumah tangga dan seluruh kerja-kerja domestiknya, yang dulunya tidak menjadi bagian proses produksi (oleh karenanya tidak diupah) adalah kelompok yang berkontribusi erat dalam reproduksi tenaga kerja. Kehidupan domestik bukan lagi tidak ada hubungannya dengan produksi, malahan berperan penting dalam penciptaan tenaga kerja dan kapital baru.

Ke-tidak produktif-an kelompok pengangguran misalnya, bukan berarti tidak berkontribusi dalam penciptaan kapital-kapital baru. Dalam lansekap Pabrik Sosial, pengangguran misalnya, dapat menjadi instrumen oleh kapitalis untuk menciptakan nilai dan kondisi ekonomi dalam rangka memaksimalkan keuntungan maksimum yang bisa diraih pada level sosial. Hitung-hitungan ekonomi, inflasi, daya beli, persaingan kerja dan himpitan hidup telah mengaburkan perang yang sesungguhnya.

Bahkan mahasiswa/pelajar, masyarakat adat, petani subsisten, kaum minoritas, penyandang cacat, para jompo dan pensiunan memiliki fungsi masing-masing sebagai mesin dalam penciptaan kapital-kapital baru.

Inilah 'pabrik tanpa dinding' yang maha luas dan maha besar itu. Para proletariat, sebagaimana jutaan Zulkarnain dan Arniati, terus bekerja karena hanya itu pilihan yang disodorkan. Pilihan-pilihan untuk 'kehidupan lebih baik' sepanjang tetap memproyeksikan para proletariat takluk pada nasibnya, tidaklah lebih baik dari parodi perubahan. Dalam Pabrik Sosial, berganti pemerintah, berganti partai politik penguasa, berganti presiden sepanjang tidak menghalangi kapital terus menggelembung tidak layak disebut alternatif. Satu-satunya jalan realistis yang tersisa bagi proletariat yang ingin bebas, adalah menghancurkan pabrik ini!

“…karena tujuan dari setiap proletar adalah untuk tidak lagi menjadi proletar…”
(Mario Tronti)

Label: , , , , ,

MENDEFINISIKAN ULANG PROLETARIAT

oleh : Ali Topan Marsono & Alfonso

Sejak era industrialisasi, perpecahan kelas sosial semakin meruncing. Para borjuis menguasai alat-alat produksi sedang proletar terpaksa bekerja sebagai syarat bertahan hidup. Kelas proletar tidak mendapatkan profit dari perputaran kapital, juga tak memiliki nstrum atas hidupnya. Menurut Karl Marx, para proletarlah kelas pekerja modern, mereka tidak memiliki cara lain untuk bertahan hidup selain dengan menjual tenaga kerjanya dan bukan menjual produk seperti yang dilakukan para kapitalis. Jelas, proletariat adalah sebuah kelas sosial yang muncul seiring terciptanya relasi ekonomi baru, kapitalisme.
Di Eropa (tempat dimana relasi kapital muncul untuk pertama kali), kelas proletariat erat kaitannya dengan konsep labour, yaitu aktifitas yang dilakukan demi mendapatkan upah. Sementara work lebih spesifik pada aktifitas fisik. Di Indonesia, definisi work dan labour tidak memiliki perbedaan. Kedua-duanya dipakai untuk merujuk pada kerja. Diperparah dengan banyaknya istilah yang terkait dengan kerja, seperti karyawan, pegawai, buruh, dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, jelas hal ini mengaburkan siapa kelas proletar itu. Namun jika mengacu pada apa yang dikatakan Marx, tentu akan terlihat bahwa karyawan, pegawai, dan buruh adalah sama-sama proletar sebab semuanya menjual tenaga demi upah (meski istilah upah juga beragam).

Dengan demikian, proletariat tidak lagi identik dengan pekerja pabrik, namun juga mereka yang ada di kantor dan gedung ber-AC, pusat perbelanjaan, ruang nstru, atau pusat-pusat layanan kesehatan, dan sebagainya. Karena relasi kerja-upahan tidak saja eksis di pabrik, namun di berbagai tempat. Kelas proletariat, seiring perkembangan kapitalisme, melingkupi para kerah putih di bank, karyawan departemen store, satpam, perawat hingga juru parkir kantor korporasi.

Proletariat dalam Hingar Bingar Pabrik Sosial
Konsepsi atas proletariat mesti mempertimbangkan konteks sejarah dan aktualnya. Dulu yang dimaksud proletariat adalah mereka para buruh pabrik, karena pada zaman tersebut pabriklah satu-satunya tempat dimana terdapat kelas proletar. Lalu kemudian juga muncul kantor, setelah berkembang perusahaan non-manufaktur. Dan seterusnya, saat kapitalisme terus berkembang menciptakan lapangan kerja baru dengan model dan variasi beragam.

Saat ini, tatanan sosial telah dikonversi oleh kapitalis menjadi sebuah Pabrik Sosial, dimana seluruh aktifitas hidup manusia diperuntukkan untuk mengakumulasi kapital dan semua dimensi kehidupan adalah rangkaian dari proses produksi. Artinya, para pekerja bukan saja mereka yang di pabrik, atau kantor, tetapi seluruh masyarakat. Bukan pula terbatas hanya yang diupah, atau yang produktif saja. Sektor nstrume, atau kalangan pengangguran yang tidak masuk dalam klasifikasi klasik, dalam Pabrik Sosial juga turut berkontribusi dalam pengakumulasi kapital.

Intinya, proses penciptaan nilai-lebih (sebagai basis kapital baru), tidak lagi hanya berlangsung di tempat kerja, tetapi meluas hingga ke level sosial. Di unit sosial terkecil yaitu keluarga, penciptaan kapital dan tenaga kerja baru diproses disini. Keluarga menciptakan calon pekerja masa depan. Mendidiknya, menyekolahkannya, mendisiplinkan dan memberikan gambaran hidup dan nilai apa yang ‘normal’ kepada anaknya: bekerja. Khususnya perempuan, mereka melayani suaminya agar dapat kembali bekerja keesokan harinya, mendidik calon pekerja.

Mahasiswa atau pelajar, bukan lagi belajar untuk menjadi manusia. Tetapi untuk memudahkan mencari pekerjaan dan diupah tinggi. Karena orientasinya ini, mahasiswa tidak lebih sebagai proletariat yang dalam masa training untuk memasuki dunia kerja sesungguhnya. Kampus menjadi persemaian nilai baru, dan komoditinya adalah pelajar itu sendiri, yang tidak memiliki kuasa sedikitpun dalam mengontrol proses dan orientasi belajarnya.

Para pengangguran diciptakan sedemikian banyak, agar posisi tawarnya rendah saat mencari pekerjaan oleh karena terbatasnya lapangan kerja. Berbagai aturan dan paket kebijakan ekonomi disusun dengan memanfaatkan populasi penganggur sebagai nstrument. Kesemuanya ditujukan agar perekonomian tetap stabil. Para pensiunan, atau para jompo kadang ditunjang Jaring Pengaman Sosial guna menyokong mereka untuk tetap produktif. Hal ini menguatkan tesis Marx tentang ‘pekerja cadangan’ dimana akumulasi juga bermakna akumulasi ‘pekerja cadangan’ dan ‘pekerja aktif’ dan semua yang bekerja dalam rangka mereproduksi kelas.

Dari sini bisa kita lihat bahwa yang dimaksud Pabrik hari ini, adalah bukan semata pabrik fisikal. Tatanan sosial secara keseluruhan ini termasuk institusi sosial, nilai-nilai, orientasi dan keseluruhan yang mereproduksi kelas adalah Pabrik Sosial. Dengan demikian, definisi tentang siapa proletariat itu mesti mengambil rujukan pada basis historis yang berjalan sekarang. Artinya kelas pekerja mesti dimaknai ulang ! Merekalah para pekerja pabrik, petani, kaum miskin perkotaan, ibu rumah tangga, mahasiswa, serta seluruh kelompok yang didominasi oleh sistem uang dan kerja.

Menyadari hal tersebut, defenisi proletar adalah sesuatu yang penting untuk menguak ilusi-ilusi yang sengaja dibangun untuk melemahkan kekuatan kelas proletar. Pelemahan ini dilakukan untuk meredam potensi revolusioner yang dikandung oleh kelas proletar sebagai kekuatan yang paling potensial menghancurkankan kapitalis dan kapitalismenya. Dengan demikian juga istilah proletariat menjadi penting untuk meninggalkan perdebatan dan pengkotak-kotakan antara mereka yang menganggap diri buruh, karyawan, pegawai, pekerja, dan menyatukan dalam satu definisi: proletariat.

Label: , , , , ,

SEKALI LAGI TENTANG INSTITUSI SOSIAL

oleh : Nelson Al Qasy

Seringkali kita menganggap institusi sosial seperti sekolah, pusat layanan kesehatan, media massa dan lainnya, adalah wadah untuk memediasi kepentingan orang banyak entah itu menyakut soal kesehatan, peningkatan kualitas pengetahuan dan lainnya. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa dalam memediasi kepentingan orang banyak tersebut ada tujuan-tujuan lain yang kasat mata atau 'terselubung' secara langsung ikut berjalan? Atau justru kenapa ada pertanyaan semacam ini?

Institusi sosial layaknya sebuah pondasi yang direhabilitasi secara permanen guna mempertahankan sebuah sistem dominan/tatanan global yang berjalan dalam aktivitas keseharian masyarakat umum. Pandangan umum tentang manfaat dari institusi sosial mungkin tak perlu dijelaskan disini karena telah dijelaskan melalui berbagai media dan kita pun mungkin sudah mengetahuinya. Tapi kita perlu menyelidiki mengenai apa yang terselubung dan logika yang terkandung dalam institusi sosial sebagai suatu perangkat yang mendukung terjadinya ketimpangan dan keterpurukan dalam berbagai bentuk saat ini.

Sekolah sebagai Pabrik Tenaga Kerja
Sekolah berfungsi mengkanalisasi aktifitas transformasi pengetahuan ke dalam bentuk aktifitas akumulasi kapital. Atau dalam bahasa populernya sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, yaitu 'jasa pengetahuan'. Jika pengetahuan dirasa abstrak, mungkin lebih konkrit jika kita katakan bahwa komoditas atas jasa pengetahuan dari perusahaan tersebut adalah 'hal-hal yang berpengetahuan'.

Para Presiden, hakim, para jendral militer, para korporat, atau politisi dan masih banyak lagi yang bisa disebutkan adalah produk yang dibuat oleh sekolah. Mereka terbukti sampai saat ini tidak menghasilkan loncatan kualitas dan transformasi pengetahuan yang otonom dan merata kepada banyak orang.

Keahlian menjadi presiden, hakim, jendral militer jelas sangat dibutuhkan oleh Negara untuk menjaga stabilitas sosial agar relasi Kapital dapat terus berlangsung tanpa jeda. Tujuan bersekolah bukan untuk memperoleh loncatan kualitas pengetahuan untuk kehidupan yang lebih baik, tetapi adalah sebuah keharusan untuk mempersiapkan calon-calon pekerja masa depan. Persis modus Politik Etis di awal abad 20 yang menipu untuk mencerdaskan masyarakat, namun pada intinya untuk merekrut tenaga-tenaga administratif siap pakai untuk memperkuat penjajahan atas masyarakat itu kembali. Dan dewasa ini, calon pekerja tersebut dididik mulai dari sekolah dasar sampai masuk universitas untuk memahami dan mengimplementasikan pengtahuannya agar kelak di kemudian hari dapat mengisi posisi dalam sistem dominan.

Dalam konteks Pabrik Sosial, sekolah memproduksi tenaga kerja sebagai komoditinya. Merekalah para lulusan dan sarjana yang kemudian dijajakan untuk dipakai demi kelancaran akumulasi kapital (baca: dunia kerja). Sekolah juga berfungsi sebagai tempat pembuatan nilai jual (valorization) melalui rasio akademis, dimana lulusannya dinilai dan distandarisasi berdasarkan hal tersebut. Tentunya, di sekolahlah tempat para pekerja masa depan diciptakan. Mereka dibentuk, didisiplinkan dan disetting sesuai kebutuhan kapital. Para pelajar dan mahasiswa bekerja dengan cara belajar sebuah pengetahuan, untuk menciptakan dirinya sebagai komoditi unggul. Kepintarannya tidak ada hubungannya dengan kehidupan atau masyarakat, namun pada seberapa berkontribusinya mereka dalam pengakumulasian kapital.

Sekolah adalah pusat penyaringan sosial, kaderisasi dan pelatihan bagi para pekerja. Pekerja yang belum ahli dan tidak memiliki kesiapan beradaptasi di dunia kerja akan dididik, didisiplinkan dan disuntikkan nilai serta orientasi hidup yang relevan dengan akumulasi kapital. Sekolah adalah mesin cetak yang baik untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang penurut dan tidak memiliki keinginan untuk bebas dan merengkuh hidupnya.

Media Massa sebagai Pabrik Opini dan Kanal Kebenaran
Tidak dapat dipungkiri bahwa menghadang deras arus informasi saat ini adalah sebuah hal yang terlampau percuma dilakukan. Ini mengacu pada sifat paradoksal dari teknologi informasi itu sendiri. Satu sisi teknologi menjadi rantai penunjang bagi sistem dominan saat ini, tapi di sisi lainnya secara tak langsung menyediakan lintasan peluru bagi dirinya sendiri.

Arus informasi yang begitu massif memang tidak dapat dibendung tapi hal ini bisa diarahkan dan dialihkan. Proses pengalihan tersebut membutuhkan perangkat/institusi yang khusus menangani bidang ini. Nah, disinilah media memiliki peranan yang sangat vital dalam menjaga opini termasuk juga menyensor dan memasung informasi yang terbangun di masyarakat.

Tugas-tugas hegemoni dijalankan dengan baik oleh media massa, tidak pemaksaan yang kasat mata akan tetapi dimediasi lewat proses komunikasi yang sungguh massif. Media massa berguna untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan/yang dianggap penting oleh pasar yaitu semua jenis informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat yang hidup dalam budaya dominan.

Media massa adalah alat kapital untuk selalu menjaga stok opini untuk membangun pola pikir yang terkontrol, terjajah dan terdisiplinkan. Yaitu untuk menjaga masyarakat agar tetap berfikir normal, orang tidak merasakan kemungkinan adanya individu yang berfikir lain bahwa 'ada yang salah dengan dunia ini'.

Media massa adalah mesin dalam pabrik sosial, yang memproduksi keinginan yang tidak dibutuhkan demi kelancaran konsumsi dan akumulasi kapital. Masyarakat non-kapitalis ditransformasikan menjadi masyarakat kapitalis yang berlandaskan jual-beli dan kerja upahan lewat gencarnya informasi yang mendominasi pemahaman kolektif.

Pusat layanan kesehatan sebagai reservasi tenaga pekerja
Hampir semua orang tahu bahwa untuk mendapatkan layanan kesehatan saat ini mesti melalui transaksi jual-beli yang rumit. Kita jangan menipu diri sendiri, contoh yang paling sering kita jumpai misalnya dalam rumah sakit, layanan kesehatan yang diberikan bukanlah berdasarkan diagnosis penyakit tapi lebih pada kemampuan seorang secara finansial dan strata sosialnya di masyarakat. Kesehatan bukan lagi dalam tujuan meningkatkan kualitas hidup, namun tak lebih sebagai komoditas sekaligus pit stop bagi para pekerja yang kendor dan mesti di-charge agar terus dapat bekerja.

Tatanan sosial mesti selalu stabil untuk menjaga proses perputaran modal. Pekerja yang sakit dapat menghambat dan mempengaruhi proses produksi dan akumulasi. Karenanya diperlukan pemulihan, bukan dalam tujuan menjadikan kualitas hidup kelas pekerja lebih meningkat tapi dalam rangkaian menjaga agar mereka dapat terus menerus bekerja dan bekerja. Layaknya mobil, saat mogok harus dikirim ke bengkel untuk diservis agar dapat kembali berfungsi. Dan bengkel yang sering kita datangi saat sakit adalah Rumah Sakit. Rumah sakit membuat pekerja kembali berfungsi mengakumulasikan kapital demi kapital untuk para majikan.

Organisasi sosial sebagai kanal ekspresi dan polisi moral
Partai politik, LSM, lembaga kebudayaan, lembaga keagamaan dan hukum dan lain sejenisnya memiliki fungsi dan tujuan dasar yang secara khusus tidak berbeda dari institusi sosial sebelumnya awal yaitu, sebagai salah satu roda penggerak sistem dominan (pabrik sosial) dan menempati salah satu bagian paling vital dalam struktur kenegaraan untuk proses ideologisasi. Perangkat inilah yang digunakan untuk mengarahkan, membentuk, memasung, melenyapkan, mengkanalisasi semua bentuk kehidupan agar berjalan sesuai dengan hukum-hukum kapital dan otoritas yang pada akhirnya membuat keduanya (Negara dan kapital) tampak kelihatan wajar adanya.

Ekspresi politik mesti diarahkan ke partai politik, hasrat peduli ke LSM, patokan norma dan benar-salah ada di lembaga keagamaan dan hukum, atau kegiatan berkesenian dinaungi lembaga kebudayaan. Kesemuanya diorganisir untuk tetap menjaga agar proses-proses berpolitik, bersolidaritas sosial, berkesenian, atau menjalani kehidupan spiritual dan religious tetap relevan dan tidak berseberangan dengan proses akumulasi kapital.

Relasi negara, institusi sosial dan kapital
Negara mengandung logika merawat diri. Kekuasaan yang terkandung di dalamnya akan senantiasa dijaga tak peduli siapa pun yang memegang kekuasaan. Selain eksis karena adanya dimana sebagai alat perpanjangan tangan oleh dominasi kapital melalui perangkat kekerasan (militer, peradilan dan polisi) maupun ideologisnya (sekolah, lembaga keagamaan, lembaga sosial).

Institusi sosial yang ada adalah alat kekuasaan 'ideologis dan represif' sebagai respon material/kenyataan fisik dan historis yang berlangsung dalam masyarakat kontemporer. Ini juga salah satu kerja ekstra dari perangkat ini adalah mendekonstruksi hubungan sosial yang seharusnya horisontal menjadi hubungan vertikal dari bawah ke atas ataupun sebaliknya sehingga secara perlahan membentuk kerangka sistematis yang kokoh bagi suatu struktur kekuasaan yang ada. Hanya dengan model seperti ini Pabrik Sosial dapat tegak dan terus berproduksi.

Kebutuhan akan informasi dalam bentuk tranformasi pengetahuan dimediasi oleh lembaga pendidikan, kebutuhan spiritual dan rohani dilembagakan dan dipisahkan dari jiwa manusia yang otonom agar sesuai dengan logika kapital dan kekuasaan. Untuk melindungi dan menjaga stabilitas serta keamanan bagi proses kapitalisasi kehidupan dibuatlah lembaga hukum yang mengatur segala bentuk perilaku sosial dan politik masyarakat yang hidup dalam Negara. Institusi militer bertugas mengancam dan merepresi, bahkan meniadakan setiap aktifitas yang mengancam stabilitas ekonomi, politik dan sosial Negara.

Dalam pabrik sosial, semua institusi sosial telah ditranformasikan sebagai alat untuk menjaga agar rutinitas kerja, kemonotonan hidup, kemiskinan filsafat serta kebosanan-kebosanan lainnya sebagai satu fonomena yang biasa-biasa saja dan tak butuh penghancuran. Institusi sosial menjaga agar negara dan kapital tetap eksis, karena hanya dengan kolaborasi tersebutlah mesin-mesin dalam pabrik sosial dapat terus mengakumulasi kapital. Hal ini dalam kaitannya dengan Negara adalah mencoba membalik logika kontradiksi pokok (penghapusan kelas dan hirarki dalam kehidupan dan pengabolisian kapital ) dan kontradiksi dasar (sandang, pangan, dan papan) menjadi sebaliknya. Yaitu mencoba seolah-olah memenuhi kontradiksi dasarnya saja yang salah satunya diwadahi oleh institusi sosial dan menutup tabir kontradiksi pokok.

Kontradiksi pokok bukanlah menjadi kebutuhan Negara melainkan menjadi kebutuhan bagi tiap individu yang hidup dalam Negara beserta segala benturan dan kompromi yang dialaminya. Karena dengan terpenuhinya kontradiksi pokok, Negara tak lagi dibutuhkan oleh tiap pelaku aktifitas kehidupan entah itu manusia ataupun makhluk hidup lainnya.

Langkah coba-coba bukanlah cara yang buruk untuk mempelajari bagaimana cara membuat pesawat terbang, tapi bisa menjadi cara yang sangat berbahaya untuk mempelajari bagaimana membangun sebuah peradaban
(Daniel Quinn)

Label: , , ,

SEBUAH SENTRAL BERNAMA KELUARGA

oleh : Alisa Dita Manimpian

Adalah hal yang biasa dari gambaran sebuah keluarga, mereka yang bernaung di bawah atap yang sama, memijakkan kaki di lantai yang sama namun tak banyak waktu untuk bertemu, berkumpul dan berbagi kasih.
Suami disibukkan dalam tugasnya menjadi tulang punggung dengan bekerja, dan istri sebagai pengelola rumah tangga menghabiskan waktu untuk urusan domestik. Sedangkan sang anak disekap di ruang kelas sekolah atas nama mempersiapkan masa depan.

Ya, inilah gambaran sebuah keluarga modern yang umum kita temui. Relasi-relasi sosial dan hubungan emosional di dalamnya ditransformasikan sedemikian rupa sebagai aktifitas 'Kerja'. Tidak lagi sekedar urusan domestik, keluarga menjelma menjadi mesin dalam pabrik sosial. Terutama perannya dalam merawat tatanan kerja, pekerja dan mereproduksi calon pekerja. Keluarga adalah sentral dalam pabrik sosial yang memegang berbagai macam fungsi lewat spesialisasi masing-masing peran.

Suami (terkadang pula istri) menjual tenaga sebagai pekerja, bekerja langsung pada kapital. Sementara istri sang ibu rumah tangga sebagai pekerja tak diupah yang dapat melakukan berbagai macam pekerjaan yang menguntungkan kapital. Melayani suaminya, sang pekerja, baik secara fisik, psikologis, emosional, maupun seksual. Semua ini dilakukan demi menjaga vitalitas pekerja agar keesokan harinya dapat berangkat bekerja dan tetap produktif menghasilkan kapital bagi majikannya.

Ibu rumah tangga juga melahirkan, memberi makan dan merawat serta mendidik anaknya calon pekerja masa depan. Memberinya nilai dan orientasi hidup, rantai yang menjaga agar generasinya tetap relevan dalam tatanan kapitalistik.

Sebuah spot komersial di televisi sebut saja “Fatig....” sejenis obat suplemen, menggambarkannya dengan gamblang. Seorang perempuan yang sedang melakoni beberapa pekerjaan sekaligus, sebagai guru les, sebagai koki, dan sebagai konsultan keuangan. Sebuah ilustrasi akan lakon seorang istri dalam sebuah keluarga, dan pesan yang ingin disampaikan Iklan tersebut adalah mereka (para istri) membutuhkan sebuah suplemen atau tambahan energi agar tetap sehat dan fit untuk bisa menyokong setiap peran-perannya, sehingga tetap bekerja dengan penuh segar dan menebarkan senyum seperti bintang iklan tersebut, kemudian memuji diri “anda luar biasa”. Menjadi koki yaitu menyiapkan dan kebutuhan makan dan memasak untuk keluarganya, sebagai guru les yaitu mendidik anak-anaknya untuk jalan masa depan serta sebagai konsultan keuangan yaitu mengatur keuangan atau ekonomi keluarga ke semuanya adalah peran-peran luar biasa namun telah menjadi aktivitas keseharian yang terus berjalan.

Ya inilah hal luar biasa yang dijalankan kapitalisme, mampu memainkan peran-peran keluarga tersebut menjadi aktivitas yang secara tidak langsung turut berkontribusi dalam reproduksi kapital.

Dalam keluarga istri adalah pelayan dan perawat bagi pekerjanya (suami) namun dalam pabrik sosial istri adalah pekerja itu sendiri sebagai tenaga kerja tak diupah lewat peran hariannya yang justru menjadi lebih nilai lebih dalam sistem kapital. Dan mengkonsumsi suplemen yang ditawarkan dalam berbagai produk iklan yang pasti bukan solusi.

Keluarga memainkan peran penting bagaimana narasi kerja tetap tak tergugat. Sebagai sentral dalam pabrik sosial, keluarga selain merawat para pekerjanya terus pula mereproduksi tenaga kerja, sebagai pemasok dan menyiapkan calon-calon tenaga kerja baru. Di sinilah anak dalam keluarga dipersiapkan sebagai calon pekerja masa depan. Kapitalis tak perlu membuat sebuah institusi khusus untuk merawat calon-calon pekerjanya.

Keluarga adalah institusi ideal yang dikonstruksi untuk menjadi mesin penghasil dan perawat calon pekerja. Anak sebagai generasi pelanjut keluarga, sejak kecil telah ditanamkan pada orientasi masa depan lewat gambaran karir. Keluarga terus menuntun anak pada cita-cita yang menggambarkan sebuah kesuksesan. Dokter, polisi, pengusaha, pejabat adalah sekian yang mewakilkan kesuksesan tersebut. Kesuksesan untuk mampu meraih banyak kapital. Semua norma disetting untuk selaras dengan kaidah kapital, seorang anak yang malas bersekolah akan dicap sebagai orang yang gelap masa depannya, seorang yang tidak bertitel akademik, atau memiliki pekerjaan dengan gaji minim hanyalah remah-remah dalam sistem sosial. Anak layaknya sebuah investasi masa depan, sejak kecil mereka dipersiapkan menjadi calon pekerja, memasukkannya dalam institusi pendidikan, jalur formal bagi pencapaian cita-cita.

Suami terus menjual tenaganya untuk dapat membiayai sekolah anaknya sampai jenjang terakhir, Istri sebagai Ibu rumah tangga adalah yang melahirkan, menyusui dan memberi makan anak-anaknya, merawat, menjamin kesehatannya, mendidik, mengantarnya ke sekolah, dan menuntun dalam perjalanan pencapaian karirnya. Dan anak tetap menyiapkan dirinya sebagai pekerja, gambaran cita-cita yang tertanam sejak kecil adalah harapan penyemangat, belajar dan terus mengembangkan diri, berprestasi, mengikuti aktivitas tambahan yang mendukung (kursus, dll.), anak terus ditanamkan untuk seminimal mungkin bermain dan mengisi waktu mereka untuk belajar dan hal-hal lain dipandang lebih bernilai untuk bekal masa depan.

Inilah gambaran sebuah siklus kapital yang terus berjalan dalam sebuah keluarga, fungsinya sebagai sentral dalam pabrik sosial. Generasi dalam keluarga akan mengulang hal yang sama. Segala relasi sosial telah ditranformasikan untuk mengambil alih estafet, menjelma menjadi institusi yang terus mereproduksi kapital dan kebutuhan-kebutuhannya. Keluarga yang telah menyimpang dari ikatan sosial antara individu-individu di dalamnya bahkan menjadi pusat bagi regenerasi para pekerja-pekerja baru yang berjalan untuk satu tujuan yakni tegaknya kapitalisme. []

Label: , , ,

MANUFAKTURISASI KEHIDUPAN HARIAN

oleh Maximus Celeste

The factory is all around us. It is the morning, the train, the car, the ravaged countryside, the machine, the bosses, the chief, the house, the newspapers, the family, the trade union, the street, one's purchases, pictures, one's pay, the television, one's language, one's holidays, school, housework, boredom, prison, the hospital and the night. It is the time and space of our everyday subsistence.
- Raoul Vaneigem, Revolution of everyday life –

Satu hal yang paling sering ditanyakan seseorang ketika ia pertama kali berkenalan dengan seseorang adalah “dimanakah kamu bekerja…?”, yeah…!! kerja…kerja…dan kerja…!! kini seakan menjadi satu penanda dan batas “kenormalan” seseorang”, hal tersebut seolah menjadi indikasi bahwa kerja merupakan hal yang penting terutama di era masyarakat industrial seperti sekarang ini. Inilah “potret” dari pola masyarakat saat ini, kerja saat ini telah menjadi status sosial yang sangat penting bagi seseorang. Dokter, guru, polisi, buruh bangunan, pekerja pabrik, cleaning service , serta berbagai jenis pekerjaan yang lainnya telah menjadi sebuah identitas bagi seseorang di era kapitalistik saat ini, dari generasi hingga ke generasi berikutnya hal tersebut telah mengambil peran yang sangat “sakral” dan bersanding sejajar selayaknya agama.

Maka tak heran jika kemudian “bahasa profit” kini menjadi sebuah tolak ukur untuk menilai seseorang, sedari kecil manusia telah dibiasakan untuk berpikir dalam “tradisi” dunia komoditas. Seseorang akan dipandang sebelah mata jika ia belum berpartisipasi aktif dalam perputaran dunia kapital ini, dan begitu pun sebaliknya, ia sendiri pun akan merasa tak berharga jika belum turut serta menghambakan dirinya sebagai seorang pekerja yang menjual aktifitas hidupnya, ketika seseorang memutuskan untuk menukarkan hasrat imajinatif serta daya kreasi yang dimilikinya, maka secara otomatis ia pun mereproduksi setiap kondisi yang mengharuskan ia terus menerus menjual tenaganya.

Dengan menukarkan aktifitas hidupnya kepada pemilik perusahaan, para pekerja menjadikan aktifitas hidupnya sebagai suatu bentuk komoditas yang dapat dipertukarkan dengan sebentuk upah yang ditawarkan oleh para pemilik perusahaan. Dengan cara inilah bentuk produksi dan konsumsi dalam masyarakat kapitalistik tersebut berjalan, logika pasar ini berjalan layaknya suatu lingkaran yang mendominasi kehidupan, aktivitas keseharian manusia dalam dunia kapital semata-mata hanyalah aktivitas yang dapat dijual layaknya berbagai komoditi yang ada di pasaran, setiap individu dihadapkan pada suatu kondisi yang dramatis untuk bertahan hidup dengan cara menukarkan setiap energi kreatif yang dimiliknya melalui bentuk kerja yang sama sekali tidak berada di bawah kendali mereka.

Aktifitas para pekerja dalam menghasilkan berbagai bentuk komoditi layak jual tersebut menjadi asing bagi mereka sendiri sebab aktifitas yang mereka lakukan sama sekali lepas dari kendali mereka sebagai pekerja .Hal ini pun akhirnya menghantarkan mereka pada sebuah kondisi dimana pilihan yang seolah-olah tersisa bagi mereka hanyalah dengan menyerahkan kendali hidup mereka terhadap orang lain, meninggalkan setiap orang dalam kondisi keterasingan serta terisolasi dalam kultur jual beli hingga akhir hidupnya.

Setiap individu mengamini sekaligus mereproduksi bentuk-bentuk produksi dan konsumsi tersebut sebagai sebuah respon alamiah terhadap kondisi material dan historis mereka. Alur kehidupan tersebut kini menjadi suatu kondisi yang dominan, mengaburkan esensi kehidupan manusia, serta memanipulasi setiap hasrat dalam ruang-ruang transaksi global. Masyarakat industrial mengadaptasikan bentuk kondisi alamiahnya serta membentuk pola interaksi setiap manusia ke dalam satu sudut pandang yang sama, yaitu dalam bahasa perolehan profit (keuntungan).

Perasaan teralienasi / terasing telah menjadi kondisi yang menyakitkan yang harus diterima oleh setiap orang, rutinitas kerja yang membosankan memang telah menjadi satu hal yang tak terhindarkan, hal tersebut tentu saja membutuhkan penyegaran kembali karena seorang majikan tentu tak menginginkan hal tersebut menjadi sebuah hambatan bagi arus perputaran modal / kapital dan hal yang paling esensial bagi dunia komoditas adalah dengan “menyembuhkan” kondisi tersebut tanpa menjauhkan mereka dari dunia komoditas.

Jual beli komoditas kini menjadi bentuk dan pola manusia mengidentikkan dirinya, dengan cara inilah manusia kemudian memaknai kehidupan relasi sosial mereka. Tatanan dominan yang menjadi karakteristik universal masyarakat modern ini menyerap sari-sari kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya melalui aktivitas kerja keseharian mereka, atau dengan kata lain, aktivitas produksi dan konsumsi manusia itulah yang memberi daya hidup bagi eksitensi dunia kapital tersebut. Sebagaimana halnya agama, bentuk budaya dominan dari aktivitas kerja serta konsumsi tersebut diamini sebagai suatu nilai yang sakral secara universal.

Kondisi keterasingan dalam kultur komoditas tak lagi hanya dialami oleh mereka yang bersentuhan langsung dengan alat produksi (para pekerja) saja, namun kondisi menyedihkan tersebut juga kini telah menjadi masalah umum yang dialami oleh siapa pun yang berada dalam kultur komoditas. Alienasi kini menyebar layaknya kanker, ia tak lagi dibatasi oleh tembok-tembok pabrik, namun juga berada dalam ruang-ruang kerja para pekerja kerah putih, ruang-ruang sekolah dan perkuliahan, diantara ramainya transaksi pasar, menyusupi setiap celah mimpi dan mewarnai proses interaksi manusia dengan sesamanya.

Kehidupan harian diluar lingkungan kerja pun kini tak jauh beda dengan kehidupan di pabrik. Waktu luang yang tersisa diluar kerja dikemas sedemikian “indahnya” hingga membuat kehidupan manusia saat ini tak jauh bedanya dengan “restoran siap saji". Corak kehidupan harian manusia kini memperoleh “kebebasannya” di dalam pasar, setiap orang seolah menemukan kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka namun tanpa pernah beranjak jauh dari dunia komoditas. Perputaran dunia kapital kini telah menjadi suatu tatanan yang mendominasi hidup keseharian manusia, ia merupakan cerminan dari sosok keterasingan manusia yang mengalir seiring dengan keterpisahan manusia itu sendiri dan kemudian mengubah bentuk kehidupan manusia menjadi tak bermakna sama sekali. Pergerakan dunia kapital tersebut saat ini telah mengisi ruang-ruang kehidupan manusia, membentuk pola pandang kita dalam memahami dunia, maupun dalam memaknai diri kita sebagai subjek individual.

Label: , , ,

OTONOMI VS OTORITAS

oleh : Bahar Dg Lontang & Josh Al Diwani

Dalam kehidupan modern, dominasi kapitalisme semakin kompleks merias diri. Pengaburan makna setiap kegiatan kerja keseharian serta pergeseran esensi akan kehidupan adalah sesuatu hal yang pasti. Dimana seluruh kehidupan tersubordinasi kemudian diproyeksikan hanya pada kerja, kerja, dan kerjayaitu kerja-upahan, dalam tataran memproduksi komoditas.

Pabrik dimana kelas pekerja melakukan aktifitas kerja tak lagi terhalang sekat-sekat dinding industri manufaktur namun dalam tatanan masyarakat secara keseluruhan telah berwujud Pabrik Sosial. Hal ini menandakan sistem dominan hari ini dengan segala tendesinya mengabolisi otonomi setiap individu dan mensubordinasikannya pada kerja. Fase manufakturisasi dalam kehidupan keseharian ini secara keseluruhan mereduksi banyak hal yang pada akhirnya komunikasi antar individu dalam kelompok sosial juga tersingkirkan.

Jika pabrik sosial hanya menggiring kita pada proses reproduksi kapital dalam aktifitas kehidupan sehari-hari tanpa sadar, lalu jalan apa yang musti ditempuh untuk keluar dari kungkungan tatanan pabrik sosial? Tawaran non-otoritarian dapat berupa pengedepanan otonomi kelas pekerja dalam penghancuran otoritas yang telah memenjarakan hidup ini.

Harry Cleaver menguraikan Otonomi Kelas Pekerja, setidaknya dalam empat hal :
A. Swa-aktifitas Kelas Pekerja versus Kapital.
Swa-aktifitas (self-activity) adalah strategi perlawanan kelas pekerja dengan melakukan sesuatu di luar konteks Kerja Upahan, atau tidak ada hubungannya dengan Kerja yang bertujuan menghalang-halangi dan menghambat proses akumulasi kapital. Saat berada dalam relasi kerja dimana kelas pekerja diintegrasikan dalam sistem kerja, otonomi kelas pekerja tidak eksis dan tidak memiliki otonomi untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, melainkan tetap patuh dalam otoritas majikan kapitalis. Satu-satunya cara mencapai otonomi tersebut adalah dengan cara mengembangkan aktifitas-aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan konteks kerja, bahkan dapat mengacaukan proses produksi. Swa-aktifitas memutus relasi kapital, yang lalu dapat ditransformasikan menuju penghancuran kapital. Sabotase, pemogokan, pembangkangan dan aksi langsung lainnya memberikan keleluasaan kelas pekerja untuk menggunakan kekuatannya dalam menghadapi penindasnya.

B. Otonomi Kelas Pekerja versus Serikat Pekerja
Salah satu masalah utama yang dihadapi kelas pekerja adalah masih eksisnya serikat-serikat pekerja birokratis yang terkadang di back-up oleh partai politik atau malah sengaja dibentuk oleh pemodal sendiri guna mengintervensi pengambilan keputusan dalam serikat pekerja. Parahnya serikat pekerja inilah satu-satunya bentuk organisasi yang dikenal oleh kelas pekerja. Yang terjadi, kelas pekerja kehilangan otonominya sebab serikat pekerja hanya menjadi alat dari kapital untuk menekan kelas pekerja melalui pimpinan atau elit-elit organisasinya. Serikat pekerja tidak menjamin kebebasan kelas pekerja. Ini terutama pada serikat-serikat birokratis yang hirarkis dimana seluruh keputusannya berada di tangan elit dan pimpinan organisasi dan kontrol yang minim dari bawah.

Untuk merebut otonomi, kelas pekerja mesti melampaui birokrasi-birokrasi yang hanya menjadi penghalang kebebasan dan perintang langkah pekerja melakukan perlawanan. Sebuah organisasi kelas pekerja mesti mengusung otonomi kelasnya, dan mesti berhati-hati atas segala birokrasi dalam strukturnya yang seringkali mengatasnamakan 'disiplin revolusioner' maupun 'kesatuan tindakan'. Hanya kelas pekerjalah yang mampu membebaskan dirinya, bukan elit pimpinan.

C. Otonomi Kelas Pekerja versus Partai Politik
Pandangan tipikal yang berkembang adalah kelas pekerja tidaklah cukup mampu menghancurkan kapital, oleh karenanya butuh 'kepemimpinan' partai revolusioner pelopor dan sejenisnya untuk mengarahkan pekerja menuju revolusi. Masalahnya, partai politik kadang merasa lebih memahami persoalan yang dihadapi kelas pekerja, sehingga merasa berhak menentukan langkah apa yang terbaik dan paling benar.

Oleh karena model otoriter yang terkandung dalam setiap partai politik, maka sentralisme dalam pengambilan keputusan juga tidak luput. Kelas pekerja tidak akan bermakna apa-apa selain menjadi sekumpulan ternak yang bersedia digiring kemana sang gembala inginkan. Apa yang seringkali terjadi justru adalah penghianatan demi penghianatan yang dilakukan pimpinan partai, atau menghambat bagaimana kelas pekerja menentukan nasib sendiri. Semua ini dilakukan atas nama perjuangan tersebut adalah bukti bahwa kelas pekerja mesti menjaga otonominya. Para proletariat dapat mengembangkan sebuah organisasi atau model yang fungsinya memberikan edukasi dan advokasi pada anggotanya, tanpa tendensi mengarahkan atau mengembalakan kelas pekerja atau pola birokratis, sentralistik dan hirarkis.

D. Otonomi antar Kelas Pekerja
Keseluruhan kelas pekerja, yaitu mereka para proletariat modern yang mencakup buruh, karyawan, ibu rumah tangga, mahasiswa, pengangguran dan sebagainya juga perlu senantiasa menjaga otonomi masing-masing. Otonomi antar kelas pekerja ini sangatlah penting dalam pencapaian harmoni sosial yang lebih luas.

Otonomi tersebut juga merangsang kelas pekerja untuk memajukan kesadarannya, menentukan keputusan apa yang terbaik, melaksanakan proyek-proyek lintas komunitas yang diperlukan seperti membangun radio komunitas, mendirikan surat kabar, pendistribusian makanan, pelayanan publik, mengorganisir sekolah, klinik, mendukung pendudukan lahan, dan sebagainya. Kesemua itu dilakukan untuk melawan institusi sosial yang telah eksis dan mentransformasikan masyakat menjadi non-kapitalis.

Dengan membangun kelompok kelas pekerja swa-aktifitas dan non-hirarkis serta penghancuran struktur birokratis di dalamnya dapat menjamin keterputusan pengambilan keputusan secara horizontal, yaitu pengambilan keputusan sepenuhnya berada di bawah kontrol pekerja itu sendiri tanpa terjebak bentuk birokrasi dalam pengambilan keputusan serta langkah-langkah pekerja untuk melakukan perlawanan.

Otonomi kelas pekerja merebut faktor produksi mesti dilanjutkan dengan swa-kelola agar relasi sosial tidak direproduksi seperti yang direproduksi dalam Pabrik Sosial. Kelas pekerja tidak ada pilihan lain kecuali mengorganisir diri mereka sendiri membentuk kelompok/dewan pekerja dan secara langsung mengambil alih ekonomi dan semua aspek yang mencakup rekonstruksi dari hidup kemasyarakatan, menyatakan otonomi mereka vis - à - vis terhadap sistem apapun yang melegalkan berbagai bentuk kepemimpinan representatif, negara atau serikat dagang, dan penyatuan diri mereka dengan satu sama lain dalam regional dan seluruh negara. Semua ini bergantung pada kesadaran kelas pekerja dan kapasitas untuk membangun organisasi otonomi.

Pekerja dapat mendirikan kelompok/federasi yang terdesentrailsasi dari dewan komunitas dan tempat mereka bekerja. Sehingga dewan pekerja ini terbentuk penyetaraan di dalamnya (demokrasi partisipatoris), dimana semua orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bersuara dalam penentuan arah kelompok/komunitas. Biasanya para pemimpin perserikatan juga puas dengan kebutuhan hanya menemukan bahwa mereka tidak dapat “memenangi” jauh lebih pada kerangka dari ekonomi yang sudah ada, tapi bahwa mereka dapat melakukan pengambilan segalanya dengan mentransformasikan semua basis dari ekonomi atas diri mereka sendiri.[]

Label: , , ,

Tanpa Hak Cipta (A) 2008. Tampilan terbaik gunakan browser open source. Kunjungi juga 'Kamerad Kontinum' :
Apokalips Affinitas komunitas merah hitam katalis Proyek Perpustakaan Libertarian Online