YANG MAHA LUAS DAN MAHA BESAR
Bukan tentang tuhan, bukan! Tapi sebuah pabrik yang begitu besar dan luas. Di dalamnya terdapat begitu banyak orang yang bekerja. Dan bekerja adalah satu-satunya cita-cita dalam kehidupan pekerjanya, melampaui hidup itu sendiri. Menyedihkan!
Hari belum terang dan embun belum juga menguap. Di sebuah rumah kompleks perumahan sederhana pinggir timur Kota Makassar, sebuah aktifitas yang tiap harinya sama persis, kembali diulangi. Zulkarnain, 34 tahun, karyawan sebuah perusahaan swasta terkemuka di Sulawesi Selatan, telah bersiap berangkat kerja.
Ia bangun sejam sebelumnya, shalat subuh dan menonton berita pagi di televisi sambil menikmati kopi susu buatan sang istri. Arniati, 30 tahun, bangun lebih pagi lagi karena mesti mempersiapkan sarapan dan kebutuhan suami. Hari ini seragam Zulkarnain mesti disetrika, “Biar rapi dan tidak dimarahi bos”, begitu katanya.
Setelah Zulkarnain berangkat, Arniati juga mesti mengurus Aldi, 7 tahun, yang mesti ke sekolah. Anaknya yang baru kelas dua SD itu mesti sarapan, dimandikan, dan diantar ke sekolah.
Rutinitas itu diulang tiap hari. Zulkarnain tiba di rumah hampir pukul 6 petang. Seharian kerja telah membuatnya penat dan lelah. Menonton TV menjadi pilihan hiburan paling murah meriah. Jalan-jalan ke mal biasanya dilakukan di akhir pekan, tapi tidak setiap pekan. Selepas semua itu, Zulkarnain yang lelah seharian bekerja harus istirahat agar keesokan hari terus bisa bekerja.
Keluarga Zulkarnain adalah gambaran umum keluarga masa kini. Kehidupan harian yang keesokan harinya dipertahankan untuk terus bekerja agar dapat bertahan hidup.
Siapakah kelas pekerja hari ini?
Jika memakai perspektif tersebut berarti hanya Zulkarnainlah yang berkontribusi pada proses produksi. Statusnya sebagai pekerja upahan jelas berbeda dengan Arniati yang tidak memiliki majikan, apalagi anaknya yang belia. Zulkarnain bekerja dan menghasilkan nilai-lebih, sementara Arniati sama sekali tidak menghasilkan kapital, pula tidak berada dalam hubungan produksi.
Definisi tersebut jelas gagap ketika diperhadapkan pada perkembangan kapitalisme yang semakin canggih dan tidak lagi hanya beroperasi di pabrik maupun tempat kerja. Definisi tersebut menjebak pada pembagian kelas antara yang 'tereksploitasi' dan kelompok yang 'tertindas'. Sang suami yang tereksploitasi, sementara si istri 'sekedar' tertindas. Saat sepasang suami-istri berada dalam himpitan hidup yang sama, penindas yang sama, dan kemonotonan hidup yang sama, berkat definisi yang ortodoks mereka dipisahkan berdasarkan kepentingan ekonomis.
BOX : Perkembangan Kapitalisme Berdasarkan Komposisi Pekerja
A. Era Pertama adalah era 'pekerja profesional', sejak pertengahan abad 19 hingga meletusnya Perang Dunia. Periode klasik industrialisasi ini didominasi oleh pekerja produktif (yang memiliki keahlian). Misalnya sebuah pabrik mobil yang akan memproduksi mobil, diisi oleh pekerja yang memang ahli membuat mobil bagian demi bagian. Setiap pekerja saat itu pandai membuat mesin, body, hingga kemudi. Namun karena tenaga produktif masih relatif sedikit, maka hasil produksi juga relatif terbatas.
B. Era Kedua adalah era 'pekerja massal', berkembang menjelang tahun 20-an hingga akhir 60-an. Ciri-cirinya proses kerja semakin terspesialisasi, mengkhusus, mengalienasi, dan menghasilkan produk secara massal. Kombinasi Taylorisme, Fordisme dan Keynessianisme. Misalnya ditemukannyacara produksi yang efisien, massal, dan hanya membutuhkan sedikit pekerja ahli. Seorang pekerja tidak perlu ahli mesin, dia hanya cukup mengerjakan roda karena yang membuat mesin juga tidak perlu mengetahui tentang ban. Untuk membuat lebih mudah lagi, para pekerja bagian ban pun terbagi hingga level paling kecil, seperti misalnya hanya untuk memasang baut. Sehingga setiap orang tanpa keahlian khusus dapat diserap dalam kerja-kerja massal.
C. Sementara era ketiga, yakni zaman sekarang adalah era 'pekerja sosial'. Era ini ditandai dengan peleburan pabrik ke dalam masyarakat yang dikenal dengan konsep “Pabrik Sosial”. Masyarakat atau kehidupan sosial disetting sebagaimana pabrik fisik/mekanik. Dalam era ini kerja dan pekerjanya tidak hanya di pabrik/kantor namun meluas ke seluruh dimensi kehidupan sosial, dan seluruh aktifitas telah dikonversi menjadi 'kerja' untuk mereproduksi kapital. Sebuah mobil tidak diproduksi di pabrik atau kantor saja, tetapi melibatkan kehidupan domestik dan sosial yang turut berkontribusi melalui reproduksi tenaga kerja.
Jika kapitalisme lampau diidentikkan dengan pabrik karena saat itu hanya pabriklah satu-satunya tempat kapitalis mengakumulasi kapital. Di pabrik atau pun kantor, majikan berkuasa penuh terhadap kehidupan pekerja. Menerapkan aturan, mendisplinkan, memperkerjakan dan memecat, serta mengambil keputusan tentang proses produksi bahkan ke seluruh kehidupan para pekerja. Setelah bel pulang dan melewati gerbang pabrik, kehidupan pekerja tidak lagi tersentuh dengan kekuasaan majikannya meski tidak sepenuhnya bebas karena harus menjalani kehidupan dalam hirarki dan dominasi dalam bentuk lain.
Pekerja hari ini adalah mereka yang berpartisipasi dalam reproduksi kapital. Tidak lagi dibatasi oleh dinding pabrik atau kantor, karena proses penciptaan kapital-kapital baru telah melebar ke kehidupan sosial, tidak lagi sekedar di tempat kerja. Pekerja juga disosialisasikan pada level sosial. Masyarakat menjadi pekerja bukan (saja) oleh rekrutmen formalmelamar, mengisi lowongan kerja, dst, tetapi melalui konversi kehidupan sosial menjadi sebuah pabrik.
Kehidupan Sebagai Kerja
Dalam kehidupan sosial, rekreasi, kesehatan dan kesejahteraan, hingga pendidikan tidak lain sebagai hal yang dirancang untuk menunjang keuntungan kapital. Instrumen tersebut berfungsi untuk merawat kondisi sosial agar tetap tegak dan normal, demi vitalitas dan maksimalisasi kerja para pekerjanya.
Domestikasi Kerja dan Manufakturisasi Sektor Domestik
Khususnya kaum perempuan, mereka bisa mengerjakan berbagai peran misalnya melahirkan generasi baru pekerja masa depan, membesarkan, mencukupi kebutuhan hidupnya, melayani suami (baca: pekerja) agar dapat kembali bekerja keesokan harinya. Mereka juga mesti mengatur keuangan keluarga agar tidak terjadi inflasi. Kesemua pekerjaan yang dilakukan oleh kaum perempuan tersebut tidak diupah, dan bertindak sebagai tenaga tak diupah bagi kapital.
Kehidupan domestik (keluarga inti) adalah landasan pembentuk nilai masyarakat kapitalis, disemaikannya pemberhalaan kerja sebagai satu-satunya narasi yang layak.
Komposisi Pekerja Sosial
Ke-tidak produktif-an kelompok pengangguran misalnya, bukan berarti tidak berkontribusi dalam penciptaan kapital-kapital baru. Dalam lansekap Pabrik Sosial, pengangguran misalnya, dapat menjadi instrumen oleh kapitalis untuk menciptakan nilai dan kondisi ekonomi dalam rangka memaksimalkan keuntungan maksimum yang bisa diraih pada level sosial. Hitung-hitungan ekonomi, inflasi, daya beli, persaingan kerja dan himpitan hidup telah mengaburkan perang yang sesungguhnya.
Bahkan mahasiswa/pelajar, masyarakat adat, petani subsisten, kaum minoritas, penyandang cacat, para jompo dan pensiunan memiliki fungsi masing-masing sebagai mesin dalam penciptaan kapital-kapital baru.
Inilah 'pabrik tanpa dinding' yang maha luas dan maha besar itu. Para proletariat, sebagaimana jutaan Zulkarnain dan Arniati, terus bekerja karena hanya itu pilihan yang disodorkan. Pilihan-pilihan untuk 'kehidupan lebih baik' sepanjang tetap memproyeksikan para proletariat takluk pada nasibnya, tidaklah lebih baik dari parodi perubahan. Dalam Pabrik Sosial, berganti pemerintah, berganti partai politik penguasa, berganti presiden sepanjang tidak menghalangi kapital terus menggelembung tidak layak disebut alternatif. Satu-satunya jalan realistis yang tersisa bagi proletariat yang ingin bebas, adalah menghancurkan pabrik ini!
“…karena tujuan dari setiap proletar adalah untuk tidak lagi menjadi proletar…”
(Mario Tronti)
Label: Jurnal, Jurnal 1, Kelas Pekerja, Pabrik Sosial, Proletariat, Redefinisi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda