Sabtu, 18 April 2009

POSTER : JANGAN TERKONTROL !

Sebuah poster berjudul Jangan Terkontrol - Pertanyakan Semua Otoritas! telah dirilis!

Format A3 B/W, sangat cocok untuk ditempel di berbagai tempat. Pasanglah di kamarmu, kampus atau ruang kelas sekolahmu, tempat kerjamu, sekretariat partaimu, tempatmu nongkrong tiap sore, atau warkop-warkop yang sekarang menjamur di berbagai sudut kota, tempat kau mendiskusikan berbagai hal hingga dini hari dan pulang untuk kembali lagi keesokan harinya.

Kami mendistribusikannya sesuai permintaan dan stok. meski kami tidak memperjualbelikan alias gratis!

Bagi kalian yang berminat, hubungi kami! Untuk distributor buku terbitan Kontinum, poster akan otomatis dikirim ke alamat-alamat yang terdaftar di catatan kami.

Label:

Minggu, 22 Maret 2009

Buku Baru : PERANG MELAWAN NEGARA

PERANG MELAWAN NEGARA Anarkisme dalam Pemikiran Gilles Deleuze & Max Stirner
oleh : Saul Newman

Penulis : Saul Newman
Penerjemah : Tim Media Kontinum
Penerbit : Kontinum
Cetakan : Pertama Maret, 2009
Tebal : xvi + 61 halaman
Sampul : colour 120 g
Harga : Rp.10.000

Inilah analisa non-ekonomi atas negara, sebuah pemikiran memikat yang merangkai penolakan atas negara dan semua struktur otoritaran.

Saul Newman merunut pertemuan pemikiran Max Stirner, seorang radikal abad 19 yang tidak terlalu dikenal dalam literatur-literatur formal, dan Gilles Deleuze yang merupakan filsuf besar abad 20. Keduanya menolak pendekatan moralistik dan rasionalis seperti yang sering diajukan para anarkis klasik, juga melampaui argumen-argumen standar para penyokong Negara dan pengafirmasi kekuasaan.

Baik Stirner dan Deleuze, tidak saja memberikan basis pemikiran yang sangat radikal, namun tentu saja melengkapi dan bahkan memperbaharaui argumen anarkis tentang struktur sosial yang otoritarian sekaligus menawarkan alternatifnya.

Mungkinkan menganalisa negara dengan melepaskannya dari sudut pandang ekonomi? Bagaimana cara kerja negara hingga setiap individu tidak lagi merasa dan bahkan butuh untuk dikuasai? Dimana potensi revolusioner hasrat -energi kekal yang tak terprediksi? Mari berjalan-jalan di taman yang penuh bunga; dari politik radikal ke psikoanalisa, dari postruktralisme hingga imajinasi...

Label:

Jumat, 10 Oktober 2008

REDAKSIONER

Editorial Jurnal #3 September 2008
Dalam sebuah koloni semut, sebagaimana digambarkan dalam kisah distopis ‘Antz’, tak satu pun semut pekerja yang memiliki gambaran akan hidup yang lain, selain yang dilakoninya hari demi hari. Hingga suatu hari, Z-4195 - salah satu dari semut, keluar dari sarang dan mendapati dunia lain yang tak pernah hadir dalam imajinasinya sekalipun.

Tak satupun semut lain yang percaya bahwa ada sebuah kehidupan yang lebih indah dan rasional dari yang sedang mereka jalani, selain mengganggap Z-4195 sedang berkhayal. Meski pada akhirnya, seiring waktu dan terdorong atas alienasi, kemonotonan dan penderitaan atas kehidupan yang membelenggu, ucapan Z-4195, “adalah pekerja yang mengontrol produksi”, menemui kebenaran.

***

Dalam masyarakat luas, mencakup pula mereka para aktifitas radikal, gambaran dunia ideal terbatas pada apa yang pernah dan selalu dijejalkan padanya. Takkan ada bayangan sama sekali tentang bagaimana sebuah kehidupan lain dari saat ini, di luar dari apa yang pernah mereka diberikan.
Sejak kecil hingga sekarang, bahkan sejak peradaban ini dimulai, kita selalu dijejali takkan bisa hidup normal tanpa kekuatan yang mengatur dan mendikte hidup kita, diluar kekuatan kita sendiri untuk hidup dengan masyarakat dan lingkungan kita. Dan secara sosial hal tersebut mengendap dan bertransformasi menjadi sebuah moralitas baku -moralitas budak, yang enggan bebas dan tidak percaya dengan dunia di luar apa yang mereka ketahui.
Jurnal ini akan sia-sia saja, bagi sebagian orang. Tapi tidak bagi mereka yang lebih percaya keotentikan hidup daripada keyakinan membabibuta terhadap sesuatu.
Dari sebuah grup otonom anti-hirarki. Salam!
Makassar, di awal penghujan, September 2008

Label: , ,

NASIONALISASI, HARAPAN ATAU ILUSI?

Umumnya, mereka yang terlibat dalam gerakan radikal kontemporer menyetujui bahwa 'nasionalisasi' - pengambilalihan aset swasta oleh negara, adalah agenda strategis perjuangan melawan kapitalisme. Terdapat optimisme yang kuat di antara pengusung nasionalisasi, bahwa dengan mengambil alih kepemilikan asing yang menguasai sumberdaya alam dan industri, kesejahteraan dapat diraih di depan mata. Jika kelompok Kiri memandang nasionalisasi adalah jalan menuju sosialisme, maka bagi para nasionalis adalah proyek menuju kedaulatan nasional.
Di Indonesia, nasionalisasi bukan isu baru. Sejak tahun 1945, kampanye nasionalisasi sering mengemuka seiring atmosfer nasionalisme, bahkan dipraktekkan pada tahun 50an saat pemerintahan Soekarno membuat Program Benteng yang menyita dan mengambilalih aset-aset kolonial, atau renegosiasi dengan profit sharing 60:40.
Di tahun-tahun ini, isu nasionalisasi kembali diteriakkan salah satunya diinspirasi keberhasilan gelombang gerakan di Amerika Latin yang membangkang terhadap neoliberalisme.
Menurut hitung-hitungan kasar, jika Indonesia mampu mengikuti Bolivia dan Venezuela dengan mengusir korporasi asing dan mengelola sendiri sumberdaya alamnya, paling tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebagai ilustrasi, cadangan minyak Indonesia sekarang sekitar 4,7 miliar barel dan cadangan potensial 5,0 miliar. Bila cadangan terbukti dan 50% cadangan potensial diproduksi dengan asumsi harga minyak dipatok $ 150/barel maka Indonesia akan mendulang $ 1.000 miliar atau Rp. 10.000 triliun. Dan jika diasumsikan biaya investasi dan produksi atau renegosiasi sebesar 25%, maka masih ada Rp.7.500 triliun yang tersisa. Dapat dibayangkan betapa besar nilai komoditi minyak Indonesia. Apa yang mengemuka saat ini bukanlah tanpa sebab. Saat ini produksi minyak nasional mencapai 846.000 barel/hari, namun ironisnya hanya 159.000 barel/hari produksi Pertamina, sisanya 687.000 barel/hari atau sekitar 81,2% dikuasai korporasi multinasional.
Belum lagi sekitar belanja sektor migas sekitar Rp. 100 triliun didominasi jasa dan barang asing. Dalam dinamikanya, propaganda nasionalisasi sangat meminimalkan tinjauan khusus mengenai kapasitas dan kontrol proletariat atas produksi, dan terjebak pada fetisisme terhadap kekuatan negara dan ‘borjuasi progresif’ untuk membebaskan proletariat. Terpesona dengan apa yang berlangsung Amerika Latin lantas menjadikannya panduan absolut, salah satunya dengan menempatkan negara sebagai sesuatu yang sakral - tempat segala perubahan digantungkan. Hal ini sekaligus menegasikan peran historis proletariat dalam pengabolisian masyarakat berkelas.
Otomatisasi bahwa nasionalisasi akan membawa kesejahteraan atau menuju sosialisme dan kedaulatan nasional tersebut akan menimbulkan banyak keraguan jika menyebut deretan BUMN lalu mengkorelasikan keberpihakan ekonominya dengan kepentingan masyarakat secara luas. Tidak mungkin menyimpulkan Perhutani berpihak pada petani, karena Perhutani membunuh petani karena me-reclaiming tanah. Begitu pula PT. Perkebunan Nusantara yang di kalangan petani terkenal dengan reputasinya merampas lahan dan merepresi mereka. Sementara PERTAMINA merepresi pekerjanya yang menuntut hak dan transparansi manajemen, disaat bersamaan pekerja PT. TELKOM menolak keinginan manajemen meliberalisasi sektor telekomunikasi nasional. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa perusahaan-perusahaan milik negara justru bisa menjadi oposisi bagi kepentingan publik.
Dari sini kita bisa melihat bahwa masalahnya tidak terletak pada siapa yang memiliki, asing atau domestik, swasta ataukah negara. Namun watak apa yang terkandung di baliknya. Dan watak sosial lahir dari relasi sosial yang eksis di dalamnya.
Dan pada akhirnya istilah asing juga kembali harus diperiksa, terkait dengan semakin kaburnya definisi maupun lenturnya operasional modal. Toh, kapital tidak lagi memiliki identitas asing dan domestik saat Medco, Bakri Group, atau Kalla Group sama jahatnya dengan Exxonmobil atau Freeport.
Oleh karenanya, iika kita masih (dan senantiasa) berfikir bahwa seluruh taktik dan strategi mesti terus menerus diperiksa secara kritis, maka pembacaan alternatif atas solusi-solusi tersebut tetap relevan dibutuhkan. Demi menghindari absolutisme dan menghancurkan dogmatisme, dan semenjak sebuah strategi mesti mendapatkan kritiknya terus menerus, untuk menjumpai sebuah 'garis tanpa titik balik', maka juga diperlukan penghancuran mitos-mitos yang menyelimutinya.

Hanya dengan itu kita bisa menilai apakah nasionalisasi adalah harapan bagi pekerja, atau hanya ilusi belaka.[]

Label: , , ,

DARI KAPITALISME PRIVAT KE KAPITALISME NEGARA

TINJAUAN ALTERNATIF ATAS AGENDA NASIONALISASI

Tak sebagaimana yang sering diklaim, nasionalisasi tidaklah dengan serta merta menegasikan infrastruktur kapitalis, alih-alih membangun sosialisme. Mari lihat Venezuela, rujukan populer para pengusung nasionalisasi. Meski pemerintahan Hugo Chávez menasionalisasi beberapa perusahaan besar, menggelontorkan $ 13,3 milyar untuk membangun perumahan, program pendidikan dan kesehatan, bukan berarti arus modal dan investasi yang masuk ke Venezuela terhambat. Indikator sederhana ini untuk membuktikan apakah karakter nasionalisasi adalah mengakhiri kapitalisme atau hanya memodifikasinya dengan semangat 'sosialistik'?

Toh, bagi kapitalis, Hugo Chávez bukanlah presiden yang buruk. Tiga tahun Chávez berkuasa, investasi justru melonjak rata-rata $ 3,2 milyar per tahunnya. Bahkan, meski Chávez dengan penuh ekspresi menggembar-gemborkan bahwa Washington adalah musuh politik Caracas dan imperialisme AS hanya akan dilawan dengan Sosialisme Abad 21-nya, hubungan dagang dan ekonomi kedua negara tetap berlangsung normal. Bahkan meningkat pesat! Nilai ekspor Venezuela secara keseluruhan tahun lalu mencapai $ 42 milyar, ini termasuk ekspor minyak sebanyak 1 juta barel/hari. Sementara nilai impor dari Amerika Serikat senilai $ 9 milyar, atau naik 41% sejak 2005. Selain itu keterlibatan perusahaan asing dalam produksi minyak 2,4 juta barel/hari mencapai 40%, meski kontrol minyak berada di tangan perusahaan minyak negara Petróleos de Venezuela (PDVSA).

Keberhasilan lain pemerintahan Bolivarian Chávez adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 11%-12%, seiring peningkatan konsumsi sebesar 18% per tahunnya. Walhasil: penjualan berbagai macam produk seperti Coca Cola, mobil Ford bahkan sedan mewah Mercedes-Benz pun juga meningkat! Pencapaian-pencapaian Chávez jelas membuat para borjuasi kegirangan. Edmond J. Saade, presiden Venezuelan American Chamber of Commerce VenAmCham (kamar dagang) berucap, “Meski secara politik terjadi konfrontasi, toh tidak mempengaruhi hubungan bisnis antara AS dan Venezuela. Bisnis tetap jalan”. Sementara dalam wawancara dengan Reuters, pernyataan pejabat Chevron-Texaco bahwa revolusi bukanlah ancaman bagi perusahaan, nampaknya benar adanya.

Kapitalisme Negara di Venezuela
Pada esensinya, nasionalisasi hanyalah mengubah status kepemilikan swasta/privat menjadi kepemilikan negara, dan bukannya penyitaaan atau pengambilalihan radikal (ekspropriasi) atas aset yang dikuasai kapitalis, untuk dikuasai oleh kelas pekerja. Untuk itu, nasionalisasi di Venezuela pun tidak menghadirkan sebuah 'negasi atas negasi' dari kapitalisme untuk menyulut transformasi menuju tatanan baru. Apa yang dilakukan Chavez justru adalah membeli perusahaan-perusahaan tersebut, disertai kompensasi kepada pemilik lama. Sebuah gambaran kompromis untuk tetap patuh dalam koridor modal. Dengan pengkonsentrasian kapital pada negara, nasionalisasi industri dan sumberdaya alam di negeri tersebut justru memapankan sebuah Kapitalisme Negara secara esensial, bukannya (transisi) menuju sosialisme. Hal itu menunjukkan watak sebenarnya dari sebuah kelas berkuasa, dan terlebih lagi watak alamiah sebuah kekuasaan tersentral.

Untuk melihat bagaimana sebuah nasionalisasi pada intinya tetap merupakan kapitalisme yakni kapitalisme negara, dapat digambarkan dalam beberapa poin utama.

A. Pekerja tetap sebagai Pekerja
Meski nasionalisasi menyingkirkan majikan lama, namun kehidupan pekerja beralih sepenuhnya di bawah kontrol majikan baru : negara. Perubahan kepemilikan dari privat/swasta menjadi kepemilikan negara tidak ada hubungannya dengan perubahan relasi majikan-pekerja dalam proses produksi. Sehingga inti dari nasionalisasi yang dapat kita lihat adalah mengkonstitusionalkan relasi majikan-pekerja tersebut dan memapankan kembali “kerja-upahan”, elemen utama kapitalisme dan satu-satunya mode produksi yang dibolehkan di negeri itu. Hal tersebut menjauhkan dan meredam imajinasi pekerja akan sebuah bentuk kehidupan lain dari saat ini.

Kendati alasannya untuk menjamin produksi tetap berpihak kepada populasi, namun tak mungkin memisahkannya dari konteks bagaimana mengakumulasi 'modal nasional' melalui penghisapan kerja-kerja proletariat.

Melalui relasi tersebutlah eksploitasi terus dikembangkan, dimana dalam kapitalisme hal itu satu-satunya jalan mengakumulasi. Eksploitasi atas proletariat bahkan tergambar di beberapa perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi yang diklaim pemerintah sebagai contoh sukses penerapan manajemen kolaboratif, mulai dari kondisi kerja yang ekstrim hingga status pekerja.
Hal ini tergambar di pabrik aluminium Alcasa misalnya, yang kondisi kerjanya menyebabkan 3000 pekerja tak ubahnya zombie yang terkontaminasi debu aluminium mematikan. Para pekerja tetap melakoninya karena tak punya pilihan lain, demi mendapatkan cukup uang untuk bertahan hidup termasuk saat pensiun kelak. Bahkan saat pihak manajemen mengumumkan 'pengurangan jam kerja' sebuah hal yang sebenarnya progresif, namun para pekerja justru menolak proposal tersebut karena khawatir terjadi perotasian shift kerja baru yang berdampak berkurangnya pendapatan mereka.

Eksploitasi juga nampak lewat sistem kontrak dan outsourcing. Para pekerja kontrak/outsourcing bahkan tidak bisa menikmati fasilitas transportasi, makan di kantin, bonus tahunan, dan ketika sakit upah mereka otomatis terpotong karena ketidakhadirannya. Di pabrik kertas Invepal, Negara menasionalisasi pabrik itu dan menguasainya di bawah sistem ko-manajemen dengan saham 51%. Pekerja ditawarkan 49% saham dengan syarat pekerjanya membentuk koperasi untuk bisa membeli saham perusahaan. Untuk memenuhi tawaran itu, pekerja terpaksa berutang ke bank swasta. Dan pada akhirnya negara memutuskan Invepal disubkontrakkan yang artinya tidak ada kontrak kolektif dengan perusahaan selain kontrak dengan koperasi. Konsekuensinya, mereka tidak berhak mengambil langkah hukum. Saat pekerja mogok, negara tidak punya kewajiban merespon tuntutan mereka dan menganggap hal tersebut ilegal.

Saat para pekerja berinisiatif mengembangkan otonomi dan bentuk-bentuk swa-aktifitas serta organisasi pekerja yang mandiri, ketidaksetujuan negara diekspresikan melalui pemotongan bonus tahunan. Tentu saja pekerja memprotesnya dengan memblokir jalanan dan meminta pembatalan keputusan itu. Namun sekali lagi, masalah status resmi tersebut melemahkan pekerja. Mereka tidak punya pilihan lain kecuali berharap penyelesaian diprioritaskan pada pengklarifikasian status mereka. “Hal ini selalu saja berakhir sama, tingkat eksploitasi tetap sama dengan yang lalu-lalu”, ujar para pekerja.

Ini membuktikan bahwa nasionalisasi tak juga menjamin perubahan substansial. Pekerja tetaplah proletariat, bertahan hidup dari menjual tenaga.

b. Kontrol Pekerja dan Perencanaan Terpusat
Bertentangan dengan anggapan umum, nasionalisasi di Venezuela berjalan tanpa memberikan penekanan penuh pada pengembangan kapasitas kelas pekerja untuk merealisasikan pembebasannya bahkan justru mengamputasinya. Manajemen kolaboratif (ko-manajemen) bukanlah sebuah relasi produksi baru, melainkan fase lanjut relasi majikan pekerja. Semua pencapaian ekonomi dan kesejahteraan ala Chavez justru memitoskan relasi tersebut, yang membuat Venezuela sebagai fotokopian buram dari negara kesejahteraan ala Keynessian. Dan seperti biasa, semua dijalankan atas nama “mencegah pekerja menjadi kapitalis baru” jika kepemilikan dan kontrol produksi di tangan pekerja.

Pemikiran bahwa pekerja tidak atau belum mampu mengelola perusahaan dan sistem ekonomi secara umum, tergambar dari kebijakan mendudukkan pejabat negara dalam jajaran manajemen perusahaan. Proses perencanaan dilakukan terpusat melalui representasi pemerintah di jajaran manajemen, dengan dalih untuk menselaraskan pembangunan dan sinergitas antar pelaku industri di perusahaan lain. Sebuah upaya yang lebih bercorak Bonapartis ketimbang sosialis.

Dampaknya, manajemen dan pemerintah tak begitu serius mendorong partisipasi pekerja dalam keputusan-keputusan strategis mengenai proses produksi di pabrik atau administrasi perusahaan. Dengan kondisi seperti itu, wajar jika pekerja mengeluh, “Lebih baik tidak mengatakan apa-apa, daripada mendapatkan masalah”, meski mereka mengingkan sebuah respon konkret atas berbagai permasalahan terkait proses produksi maupun transparansi administrasi perusahaan.

Pengambilan keputusan yang sentralistik mendorong pekerja hanyalah obyek eksploitasi untuk akumulasi modal. Pekerja hanya dimintai pendapat soal seragam kerja, kebersihan WC, dan aspek-aspek rutin yang sama sekali bukan inti dari proses produksi. Dikarenakan kepemilikan saham terbesar, negara mendominasi dalam pengambilan keputusan termasuk perencanaan dan manajemen, sehingga pekerja tak memiliki kuasa menentukan apa yang terbaik menurut mereka. Tentu bukan tanpa sebab saat seorang pekerja PDVSA mengekspresikan ketidakpuasaannya dengan bertanya, “Mengapa pekerja PDSVA tidak bisa memiliki pengelolaan di bawah kontrol pekerja?”.

c. Efisiensi dan Persaingan
Meskipun sebagian hasilnya diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat seperti perumahan warga miskin, namun kegiatan produksi tidak lepas dari orientasi pasar dan pertumbuhan. Ini tetap menandakan sebuah corak pembangunan kapitalis, yang pada akhirnya akan merujuk keberhasilannya pada tingkat konsumsi dan pendapatan masyarakat. Di sisi lain, pencapaian-pencapaian struktural dengan pengambilalihan aset privat tidak lantas membuka transformasi sistem produksi. Pada akhirnya, para pekerja di sebuah perusahaan mesti berkompetisi dengan pekerja perusahaan lain di dalam maupun luar negeri untuk merebut pasar, demi upah yang layak.

Konsekuensinya, manajemen menempuh strategi berupa efisiensi. Sebagaimana yang terlihat di Alcasa, mesin-mesinnya sama dengan saat pertama kali pabrik tersebut didirikan 40 tahun yang lalu. Peralatan termodern berusia 20 tahun lebih dan teknologinya sudah ketinggalan jaman, bahkan banyak yang telah rusak sehingga kapasitas produksi jauh di bawah 60%. Ironisnya, meski perusahaan masih dapat memenuhi permintaan pasar, namun harga aluminium di pasaran tetap stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Ditambah tingkat kebocoran dana di perusahaan yang sangat besar. Ini menunjukkan, biar bagaimanapun Negara dan manajemen masih saja berorientasi pada efisiensi dan keuntungan - bahasa khas dalam sistem kapitalis, sebagai tujuan akhir dan logika produksi.

d. Penguatan Negara dan Represi terhadap pekerjaPekerja di pabrik SIDOR dan Sanitarious Maracay menjadi bukti bagaimana 'taktik merebut kekuasaan negara' gagal memberikan peluang bagi kelas pekerja bertransformasi menjadi manusia seutuhnya. Saat kesadaran pekerja bergerak maju, bersamaan dengan kondisi obyektif yang sangat menyulitkan kehidupan pekerja, menyulut kesimpulan radikal bagi mereka bahwa tak ada siapapun yang lagi bisa diharap dan ditunggu untuk memberikan kehidupan yang layak selain diri mereka sendiri. Para pekerja menginginkan kontrol atas produksi, termasuk mengontrol kemana mereka memperuntukkan hasil produksi demi membangun masyarakatnya.

Kita bisa menyatakan hal tersebut adalah sebuah pencapaian revolusioner dan radikal dalam rangka menegasikan kapitalisme. Tetapi tidak bagi Negara dan borjuasi birokratik yang berkuasa di dalamnya. Pemerintah, terutama melalui Kementerian Perburuhan yang khawatir tuntutan pekerja akan merembet ke tempat lain, memilih mengambil tindakan represif kepada pekerja sebelum gerakan tersebut menyulut solidaritas dan kesadaran baru bagi pekerja lain.

Karenanya ini justru memberikan kesimpulan lain bahwa nasionalisasi juga adalah alat perangkap bagi gerakan revolusioner, saat mereka tengah berada pada pencapaian radikal dan kesadaran revolusioner, serta militansi yang luar biasa. Pekerja SIDOR misalnya, selain menghadapi birokrasi dua negara, pekerja juga harus berhadap-hadapan dengan manajemen perusahaan dan serikat pekerja. Belajar dari pengalaman sebelumnya, mereka menuntut SIDOR direnasionalisasi sebagai taktik untuk memenuhi aspek legal, serta kendali berada di tangan pekerja. Tapi pemerintahan Chavez tak menggubrisnya dan memaksakan bahwa selain manajemen yang mendudukkan orang-orang pemerintah, tak ada skema lain yang akan dijalankan kecuali nasionalisasi di bawah kontrol negara.

Sementara itu modus lain dipakai di Sanitarios Maracay. Pabrik perlengkapan toilet ini diduduki oleh pekerja yang menginginkan kontrol atas perusahaan. Para okupan telah beraksi 2 tahun lebih sebagai reaksi atas penutupan pabrik dan tidak adanya pembayaran sisa upah. Pekerja paham bahwa satu-satunya cara yang terbaik adalah mengambilalih pabrik tersebut untuk dioperasikan secara kolektif di bawah kendali Dewan Pekerja. Namun dengan cepat gerakan pendudukan disikapi pemerintah dengan dibentuknya serikat pekerja yang sengaja didesain untuk beroposisi dengan pekerja, sebagai perwakilan resmi yang didengar. Tujuannya jelas, menghentikan okupasi pabrik dan berupaya agar pemerintah tetap memegak klik dan mengendalikan pekerja. Dengan skema nasionalisasi, pekerja tak lagi memiliki kuasa dikarenakan status formalnya yang tersubordinasi di bawah kekuasaan negara, dengan ancaman PHK sebagai ganjaran.

Kepentingan Nasional Membutuhkan Tumbal
Pada akhirnya, sebagaimana logika modal, nasionalisasi akan sampai pada ekspansi sebagai tahapan linear dari mode produksi kapitalis. Layaknya sebuah pecut, menghantarkan proyek nasionalisasi sumberdaya alam dan industri strategis bergegas ekspansif demi akumulasi atas nama 'kepentingan nasional'. Kerjasama multinasional yang digagas Chavez seperti pembentukan PetroAmerica dan ALBA, sampai kontrak-kontrak bisnis dengan beberapa korporasi minyak raksasa seperti Chevron-Texaco, Petrobras, British Petroleum, Exxonmobil, Conoco, Total, Statoil dan Shell menyingkap wajah asli pemerintahan Bolivariannya. Kolaborasi Chavez dan barisan pendukungnya dengan modal raksasa tidak saja berseberangan dengan retorikanya - Chavez selalu mengklaim pro masyarakat adat, namun justru menjadikan masyarakat adat itu sendiri dan lingkungan hidup sebagai tumbal.

Masyarakat Wayuu, Bari dan Yukpa membuktikan bagaimana nasionalisasi dan 'kepentingan nasional' mengorbankan masyarakat. Proyek pipa gas alam yang membentang dari Kolombia ke Venezuela demi mengalirkan 150 juta kubik gas perhari telah mengancam penghidupan dan komunitas sosial masyarakat Wayuu. Proyek itu tidak lain kepentingan modal internasional kolaborasi Ecopetrol (BUMN Kolombia), Chevron-Texaco dan PDVSA, dan disponsori oleh InterAmerican Development Bank IDB.
Sementara di pegunungan Tokuka, masyarakat Yukpa tak punya pilihan lain kecuali melawan 'kepentingan nasional' pemerintah Venezuela serta kepentingan modal multinasional Chevron-Texaco yang merusak lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Intensitas konflik dan pilihan hidup-matilah yang membuat mereka mengancam, “Meski hanya dengan panah dan busur, kami akan melawan para penambang jika berani memasuki tanah kami. Jika kami harus mati untuk mempertahankan tanah kami, kami telah siap!”

Melampaui Kapital dan Negara
Pada akhirnya, nasionalisasi sebagai bagian dari tesis-tesis tentang taktik merebut negara, hanya akan berakhir sama di setiap episode sejarah. Samir Amin, Marxis Mesir, mencatat bahwa di beberapa negara yang meski kepemimpinan nasionalnya dipegang oleh kelompok Kiri sekalipun, tak pernah terjadi transformasi menuju sosialisme. Yang ada hanyalah re-kompradorisasi, penguasaan kembali sektor ekonomi strategis oleh negara atau kelas yang berkuasa untuk diintegrasikan kembali dalam sistem ekonomi kapitalis global. Hal tersebut dalam tujuan rekonstruksi nasional demi mempertahankan popularitas rezim yang berkuasa.

Di Venezuela, apa yang berkembang lebih menyerupai Bonapartisme ketimbang embrio Sosialisme Abad 21.

Seorang Hugo Chavez, dan Morales, dan Castro, dan Ahmadinejad, dan siapapun itu, bukanlah orang yang tidak baik, tetapi mereka selalu lupa bahwa upaya mentransformasikan institusi tiran, tidak akan melenyapkan tiraninya.

Bagaimana pun, kapitalisme negara takkan menciptakan sosialisme, melainkan memapankannya. Seabad lampau Friedrich Engels memperingatkan bahwa esensi negara modern tidak lain sebagai mesin kapitalis, atau negara kapitalis, yang merupakan personifikasi menyeluruh atas modal nasional. Semakin kuat mesin tersebut mengambil alih kekuatan produktif, semakin nyatalah perannya sebagai kapitalis nasional, dan semakin banyak pula masyarakat yang dieksploitasinya.

Oleh karenanya, taktik 'mengambil alih kekuasaan negara' menyimpan tiga masalah prinsipil :
a). negara yang diambilalih pada akhirnya tidak bisa menjawab bagaimana menghindari represi dari negara itu sendiri. Chavez yang mengklaim pro-pekerja, toh pada akhirnya memanfaatkan kekuasaannya (yang secara konstitusional dan legal) untuk merepresi dan menindas para pekerja yang tidak sejalan dengannya,
b) nasionalisasi yang berjalan tidak dapat mengembangkan kerja-kerja alternatif atau aktifitas produktif alternatif atas kapitalisme. Sehingga tak ada transformasi dari kapitalisme ke tatanan alternatif nonkapitalis. Kerja-kerja alternatif tersebut justru dikembangkan oleh eksponen gerakan dengan semangat menolak kekuasaan negara,
c) pada akhirnya, proyek nasionalisasi tersebut menghambat eksperimentasi secara konstan dan refleksi untuk pembelajaran, dalam tujuan pembangunan organisasi-organisasi otonom dan mandiri, sebagai antitesa dari wujud organisasi borjuis. Organisasi-organisasi tersebut adalah upaya mengkonstruksi tatanan alternatif, dimana perjuangannya fokus pada tujuan nyatanya yaitu membangun masyarakat baru, bukan negara baru.

Sebagai respon atas kekuasaan borjuis pada negara, taktik 'merebut kekuasaan negara' sungguh hanya merupakan cerminan logika formal ketimbang logika dialektika.

Kini ada pertanyaan baru bagi kelas pekerja di seluruh belahan dunia, termasuk di Amerika Latin. Masih seberapa jauh lagi perjalanan menuju tatanan dunia baru? Butuh berapa pemilu untuk mentransformasikan kehidupan? Berapa banyak presiden dan tokoh elit untuk digantungi harapan demi sebuah pembebasan menyeluruh?

Tak butuh lama untuk mendengar jawabannya. Di beberapa tempat, kelas pekerja telah bergerak melampaui apa yang pemimpin mereka bisa beri. Bahkan menutup ruang bagi berkuasanya para pemimpin yang bersisian dengan perannya sebagai majikan baru, kelak. Mereka mengorganisir diri, melawan kapitalis privat sekaligus kapitalis negara yang senantiasa mengancam kendali mereka atas kehidupan harian, dalam bentuk swakelola ekonomi, tanah dan sosial. Dan bentuk-bentuk swakelola-lah -bukan nasionalisasi atau ko-manajemen, yang memberikan kemampuan dan kepercayaan diri bagi segenap kelas pekerja tersebut, bahwa sebuah bentuk kehidupan baru, tanpa relasi majikan-hamba, dapat terealisasi dan hadir bersamaan dengan keinginan mereka. []

Rujukan :
1.Geri Smith, A Love-Hate Relationship With Chavez. Bussiness Week, Juni 2007
2.Hanna Dahlstrom, Macho Men and State Capitalism - Is Another World Possible? dalam An Anti Autoritharian/Anarchist Perspective about Venezuela´s Situation. El Libertario. Caracas. 2007
3.El Libertario, Myth of Co-Management in Venezuela Reflection on Invepal and Alcasa, 2007
4.Kiraz Janicke, Without Workers Management There Can Be No Socialism October 2007 - Venezuelanalysis.com
5.Jonathan Luna, Crossing the Wayúu: Pipeline Divides Indigenous Lands in South America, Juni 2008. CorpWatch

Label: , , , , , ,

SWAKELOLA SEBAGAI ALTERNATIF RADIKAL

Bila agenda nasionalisasi tidak mencukupi untuk menghadirkan pembebasan bagi proletariat [1], adakah alternatif radikal yang dapat diambil? Tentu saja alternatif tersebut dimaksudkan untuk menghapuskan fitur-fitur, watak dan keseluruhan sifat menghisap dari sebuah sistem produksi dan konsumsi yang eksis ini. Secara singkat, agenda utamanya adalah menegasikan keseluruhan sistem kapitalisme, tanpa ragu-ragu dan setengah-setengah. Oleh karena kapitalisme eksis berdasarkan 'kerja-upahan' untuk memproduksi komoditi, dan hal tersebut hanya dimungkinkan lewat sebuah relasi sosial dan ekonomi yang hirarkis - seperti majikan-pekerja, maka untuk menegasikannya, sebuah relasi sosial sekaligus ekonomi harus diorganisir melampaui bentuk-bentuk awalnya. Dan sebuah alternatif radikal yang dimaksud dapat dijumpai dalam bentuk self-management atau swakelola.
Swakelola pekerja (workers self-management) adalah suatu model dalam mengoperasikan tempat kerja tanpa majikan atau manajemen hirarkis yang baku. Sebagai gantinya, tempat kerja tersebut dijalankan secara demokratis oleh pekerjanya. Dengan demokrasi, bukan berarti bahwa para pekerja memilih seorang manajer untuk membuat keputusan kepada mereka. Tetapi para pekerja memutuskan sendiri apa yang akan mereka lakukan sebagai sebuah kelompok. Tak seorang pun dalam badan usaha yang dikelola secara mandiri, memiliki kontrol terhadap pekerja lainnya kuasa dalam menentukan setiap keputusan ada di tangan setiap pekerja secara setara.

Swakelola yang dimaksud juga bukanlah sebagaimana 'kontrol pekerja' (worker's control) yang berada di bawah kapitalisme privat atau pun kapitalisme negara, yang hanya spekulasi mengenai hak kontrol pekerja dalam menentukan segi-segi tertentu dalam produksi, seperti memilih wakil pekerja untuk bernegosiasi dengan manajer dalam memutuskan urusan-urusan bagaimana sebaiknya agar produksi tetap berjalan. Juga tidak seperti yang dipraktekkan di Yugoslavia ala rezim Komunis yang menempatkan pekerja sebagai pemegang saham dalam perusahaan kapitalis yang menghasilkan berbagai komoditi untuk bersaing dengan komoditi lain dalam sebuah ekonomi pasar, dan berhak memilih sebuah komite direksi untuk mengelola perusahaan, tentu saja di bawah kontrol ketat Partai berkuasa dan birokrasi negara.

Swakelola adalah negasi atas sistem produksi kapitalis, dengan mengenyahkan seluruh relasi hirarkis dan sistem kerja-upahan. Dengan mengacu pada kesatuan sistem ekonomi, swakelola berarti pola manajemen langsung oleh produsen, mulai dari proses produksi, distribusi hingga komunikasi dengan komunitas atau masyarakatnya.

Swakelola bukan sebuah konsepsi abstrak yang utopis. Dalam sejarah, swakelola telah hadir berulang kalidi Russia pada 1905 dan 1917, di Spanyol pada 19361937, di Hungaria pada 1956 dan Aljazair pada 1960 serta Chili pada 1972 hingga di Argentina pada 2001. Bentuk organisasi yang paling sering dibangun sebagai praktik dari swakelola adalah Dewan Pekerja (Soviet).

Pekerja dalam sebuah pabrik, sistem transportasi, komunikasi, dsb, membentuk sebuah badan umum yang kemudian memilih komite-komite yang berisi delegasi-delegasi untuk menangani tugas-tugas khusus, termasuk pertahanan diri dan koordinasi dengan perusahaan lain yang juga telah dikuasai oleh para pekerjanya. Pengoperasian perusahaan lantas dimulai kembali di bawah manajemen pekerja dan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan yang didefinisikan oleh mereka - tentu saja, selama sebuah krisis revolusioner, sektor-sektor terpenting adalah produksi pangan, senjata, sumber daya listrik, keberlanjutan urusan medis, telekomunikasi dan layanan transportasi.

Setiap tempat kerja yang diswakelolakan berjalan berdasarkan pertemuan langsung (face to face) antar pekerja dalam sebuah dewan pekerja. Pekerja di setiap perusahaan mengambil keputusan kolektif berbasis demokrasi langsung, baik one-man-one-vote atau melalui konsensus. Ini mesti berlangsung di seluruh divisi atau unit kerja terkecil dari bawah, dan pada akhirnya mencakup keseluruhan tempat kerja.

Dalam mengkoordinasikan kerja-kerja harian di tingkatan basis atau unit kerja, dilakukan lewat pertemuan Dewan Pekerja di tiap divisi atau unit kerja, yang fungsinya membicarakan masalah kerja dan mengambil keputusan harian. Tiap divisi/unit kerja mengirimkan delegasi dengan mandat khusus ke sebuah 'komite kerja', untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka dengan unit kerja lainnya. Yang harus diingat, delegasi bukanlah manajer profesional, tetapi pekerja biasa yang beraktifitas di tempat/unit dimana mereka didelegasikan dengan mandat dari pengutusnya. Setelah menjalankan tugasnya, delegasi akan kembali kepada dewan untuk melaporkan hasilnya, yang mungkin bisa dilanjutkan dengan mengambil keputusan baru. Setelah pertemuan dewan pekerja usai, delegasi pun kembali ke aktifitasnya seperti anggota lainnya.

Delegasi dapat di-recall atau diganti kapan saja bergantung pada pekerja. Dan sebuah 'komite kerja' yang dimaksud bukanlah manajemen sebagaimana bentuk perusahaan-perusahaan kapitalis, mereka tidak membuat sebuah keputusan agar pekerja mengerjakannya. Komite tersebut hanya berfungsi sebagai badan komunikasi antar unit-unit kerja. Komite bukan pula sebuah badan permanen, sejak pendelegasian di tiap unit kerja dapat dilakukan setiap pertemuan, sehingga setiap pekerja dapat menjalankan peran tersebut.

Swakelola menghapuskan pembagian kerja permanen antara manajer dan pekerja. Pada prinsipnya, mereka yang melakukan kerja produktiflah mulai dari membuat, merancang, merawat peralatan, mengumpulkan informasi, mengalokasikan peruntukan, dan seterusnya, yang memanajemeni kerja-kerja mereka sendiri. Swakelola bermakna pekerja mengelola pekerjaan mereka secara mandiri, oleh karenanya tidak diperlukan lagi manajer professional ataupun manajemen hirarkis.

Swakelola pada esensinya bertujuan dalam penghapusan kerja-upahan dan komoditi ekonomi, dan tentu saja alienasi atas pekerja -yang selalu berlekatan dengan kerja-upahan. Ini juga berarti pekerja mesti menghapuskan dirinya (sebagai pekerja-upahan/proletariat) saat mereka menghapuskan seluruh tatanan masyarakat berkelas. Dalam prakteknya, swakelola meniscayakan penegasian keberadaan negara dan kapital, dikarenakan kedua hal tersebut menjadi irasional dalam praksis manajemen langsung. Oleh karenanya pada prinsip yang berjalan, swakelola tidak mengizinkan semua kekuasaan yang terpisah atas mereka yang terlibat. Karena sebuah model manajemen langsung, swakelola diterapkan dengan sistem Demokrasi Langsung tanpa kecuali, dimana pendelegasian berlangsung secara ketat untuk menghindari sentralisasi kekuasaan dan manipulasi [2]. Dan pada akhirnya diperlukan sebuah badan koordinasi masyarakat secara luas, namun seluruh anggotanya tetap di bawah mandat dengan ketat, sehingga fungsi mereka terbatas pada komunikasi umum.

Merujuk di masa lampau, pencapaian-pencapaian tertinggi dewan-dewan tersebut telah membuat seluruh kekuasaan negara tidak lagi dibutuhkan -kesalahan utama mereka di masa lampau (dengan pengecualian khusus atas para pekerja dan petani Spanyol di Catalonia pada 19361937) terletak pada ketidaksadaran akan hal ini dan dengan demikian dapat dengan mudah dihancurkan oleh kekuatan bersenjata yang masih tersisa dari para penyembah kekuasaan negara.

Lalu bagaimana pembentukan kekuasaan negara baru dapat dihindari dengan cara ini? Pertama, tentu saja, dengan cara mengenyahkan seluruh “partai politik revolusioner” sekalian dengan kelompok-kelompok reaksioner. Kedua, dengan memastikan bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan badan-badan umum para pekerja dan komuniti, dan hanya di tangan mereka sajabadan-badan umum tersebut sendiri adalah dewan-dewan dan bukan sekedar komite-komite delegasi yang mendapat amanat dari keseluruhan dewan.

Pada akhirnya mesti dipahami bahwa keberhasilan swakelola terletak pada kesadaran proletariat di tingkatan individu, akan sebuah hasrat yang mendalam bagi penciptaan sebuah hidup yang bebas, kreatif dan menyenangkan di bawah kontrol mereka sendiri. Di tingkat kolektif, isi berarti apa-apa yang harus diswakelolakan.

Swakelola juga tak bisa lagi hanya terbatas pada tembok-tembok pabrik. Pertama-tama, harus dibentuk juga dewan-dewan ketetanggaan dan masyarakat yang terdiri dari mereka yang selama ini tak mendapatkan upah atas kerja mereka (ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar dan anak-anak sekolah) yang pada gilirannya juga akan memilih delegasi dan bekerja dalam tim bersama dewan-dewan pabrik, komunikasi, transportasi dan lainnya.

Tentu saja semua itu baru awal dari perjalanan jangka panjang swakelola agar dapat berhasil diterapkan di tingkat global pasca kemenangan dewan-dewan federasi atas kekuasaan seluruh negara yang eksis, sehingga sesuatu yang baru bisa tercipta dengan lebih menggairahkan dan menakjubkanperubahan-perubahan yang bahkan kita sendiripun sekarang tak akan mampu membayangkannya.

Secara empirik, semua ini bukanlah sebuah ide abstrak atau rencana besar utopis yang harus diinjeksikan ke dalam pikiran “massa”. Nyaris semua yang dijabarkan di atas pernah dilakukan dan terutama formasi dewan-dewan, federasi yang dimandatkan dengan ketat, delegasi-delegasi yang dapat dengan mudah dicopot dan diganti, dan upaya-upaya mentransformasikan lingkungan sosial bukan hanya satu kali, melainkan berkali-kali. Swakelola memperlihatkan penampakan awalnya yang kecil tetapi jelas di ruang-ruang kerja oleh para pekerja di ribuan pabrik di mana-mana, dalam bentuk pendudukan pabrik dan pemogokan. Mengutip kata-kata Marx, swakelola adalah gerakan nyata yang akan menghapuskan segala bentuk tatanan yang eksis saat ini. []

Catatan :
[1]. Proletariat yang dimaksud disini tidak terbatas pada buruh pabrik dan pekerja industrial saja. Saat 'pabrik' dalam kapitalisme lanjut adalah keseluruhan masyarakat dalam konsepsi 'pabrik sosial', yakni dimana keseluruhan masyarakat diorganisir dalam relasi majikan-pekerja, baik yang diupah maupun tidak diupah, produktif maupun non-produktif, serta kerja yang dimaksud mencakup hingga aktifitas domestik dan non-komersil, maka definisi proletariat juga mesti diperluas. Ini juga mencakup petani, mahasiswa, ibu rumah tangga, pengangguran, hingga masyarakat adat. Untuk lebih jelas tentang redefinisi proletariat dan konsepsi Pabrik Sosial sebagai model kapitalisme lanjut baca Jurnal Kontinum #2, Mei 2008.

[2]. Demokrasi Langsung sebagai oposisi terhadap Demokrasi Perwakilan/representatif. Lebih jelas soal Demokrasi Langsung baca Jurnal Kontinum #1, Februari 2008.

Label: , , , , , ,

PARA PEKERJA TANPA MAJIKAN

POTRET SWAKELOLA DI ARGENTINA

Tahun 2001, Argentina guncang. Krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis politik menyebabkan situasi menjadi tidak terkendali. Hal tersebut adalah dampak dari diterapkannya ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) yang memaksa seluruh kelas pekerja semakin miskin dan menderita. Hasilnya adalah kemiskinan yang luas biasa, sekitar 50% pengangguran dan kelaparan. Puncaknya saat ribuan pabrik dan perusahaan ditinggal tutup oleh pemiliknya atas alasan stabilitas. Akibatnya jutaan orang kehilangan pekerjaan.

Bangkrutnya perekonomian Argentina tidak serta merta membangkrutkan kesadaran kelas pekerja di negeri itu. Kelas pekerja Argentina yang sejak beberapa tahun sebelumnya berjuang, terus bangkit dan mengancam secara serius kekuasaan negara bayangkan lima pemerintahan dijungkalkan hanya dalam tiga minggu! Inilah yang kemudian menjadi momentum penyebaran perlawanan meluas ke seantero negeri. Pemberontakan tersebut merupakan reaksi dari krisis ekonomi dimana bank-bank, monopoli kapitalis, IMF dan intervensi AS serta politisi Argentina telah menjadi penyulutnya.

Pemberontakan kelas pekerja Argentina terus berlanjut namun justru mengambil bentuk berbeda. Tidak seperti kebiasaan menekan pemerintah dan kaum kapitalis untuk memenuhi tuntutan mereka, kelas pekerja justru bergerak lebih jauh melampaui metode dan taktik moderat tersebut. Mereka menduduki dan mengambilalih perusahaan dan pabrik. Dan melampauinya sekali lagi : mereka mengoperasikannya tanpa eksistensi majikan, manajemen birokratis, atau campur tangan negara dan pemerintah dalam urusan produksi. Sebuah bentuk swakelola dimana kontrol atas proses produksi dan manajemen perusahaan sepenuhnya berada di tangan pekerja.Pabrik pertama yang diambil alih adalah YaguanE, sebuah perusahaan penyimpanan dan pendinginan (cold storage) di tahun 1996, dan menyusul IMPA di tahun 1998. Berikutnya di tahun 2000, 90 orang pekerja logam dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja, mereka lalu membangun UniUn y Fuerza (Unity and Strength) atau Persatuan dan Kekuatan, sebuah komite pekerja yang berupaya membangun unit produksi mandiri.

Pada kesempatan berikutnya, sebuah pabrik keramik di distrik NeuquEn, Zanon, menyusul direbut oleh pekerja dan dioperasikan di bawah kontrol para pekerjanya. Dalam kesempatan pertama, Zanon mempekerjakan 500 orang (dan kini beroperasi dengan nama FaSinPat, singkatan dari Pekerja Tanpa Majikan), lalu kemudian memicu gejolak sosial yang berkembang sebagai harapan baru di Argentina yang tengah papa. Lebih dari 1200 tempat kerja diambil alih para pekerja dan mempekerjakan kembali 10.000 orang.

Berlawanan dengan tradisi, para pekerja beraksi tanpa instruksi serikat pekerja (birokratis) maupun partai-partai politik. Mereka bergerak secara otonom dan membangun sistem koordinasi horizontal, dengan menyerukan pengambilalihan sistem produksi di bawah kontrol pekerja di setiap pabrik/perusahaan yang telah memecat pekerjanya atau yang berupaya menutup perusahaan tersebut. Tanggal 22-23 Juni 2002 dimulailah gelombang aksi tersebut, yang kemudian terus membesar dan semakin membesar.

Di Buenos Aires, sebuah pabrik tekstil Brukman diduduki pekerjanya. Sang majikan kabur dan meninggalkan upah yang tidak dibayarkan selama beberapa bulan. Preman bayaran lalu dikerahkan untuk mengambil alih pabrik tersebut. Para pekerja berjuang untuk mempertahankan pabrik tersebut dan bahu-membahu dengan gerakan pengangguran dan proletariat jalanan bernama “Piqueterro”. Ini pula yang menjadikan gerakan kelas pekerja di Argentina begitu khas dan revolusioner dimana seluruh kelompok kelas pekerja saling bersolidaritas dengan menjaga otonomi masing-masing.

Pendudukan dan pengambilalihan juga berlangsung pada perusahaan gelas, pabrik es krim, hotel, rumah potong hewan, pabrik daging olahan, peralatan rumah tangga, sepatu, pakaian, bahkan beberapa perusahaan yang membutuhkan keahlian dan kecakapan khusus.

Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah bentuk hubungan sosial baru dibangun. Para pekerja mempraktekkan swakelola, dimana pekerja mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis pemilik lama, politisi dan partai politik, serta negara.

Manajemen dalam perusahaan swakelola didesain horizontal, setara. Menghindari munculnya kelas birokrasi yang terpisah dari pekerja. Posisi-posisi dalam produksi diisi secara sukarela, atau diatur berdasarkan kemampuan. Untuk beberapa posisi vital, seperti Juru Bicara (Public relation) mereka menggilirnya untuk mencegah sentralisasi kekuasaan. Begitu pabrik direbut, para pekerja memahami bahwa agenda pertama yang mesti dikawal adalah membangun kembali Dewan Pekerja di tiap-tiap pabrik, divisi, unit dan bagian. Proses yang ditempuh dalam pengambilan keputusan adalah Demokrasi Langsung, baik melalui konsensus maupun pemilihan secara terbuka. Rapat-rapat umum diselenggarakan secara reguler, untuk membahas perencanaan dan pengambilan keputusan. masing-masing divisi, unit atau bagian mengirimkan delegasinya. Begitupun pada komite antar perusahaan, masing-masing pabrik mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di tingkat wilayah.

Gaji yang diberikan sama besarnya untuk semua posisi. Dalam pengalaman manajemen non-hirarkis tersebut, perusahaan telah melakukan efisiensi dengan menekan pos-pos pembiayaan yang tidak perlu. Para pekerja mengaku sangat puas dengan model swakelola. Di era sebelumnya, perusahaan mengalokasikan 65-70% anggaran untuk gaji majikan dan manajemen. Dengan model swakelola, kesejahteraan pekerja lebih merata.

Pekerja menyadari bahwa terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam menerapkan kontrol pekerja, dikarenakan tekanan-tekanan kaum pemodal yang memakai alatnya: negara, untuk menghancurkan gerakan dan kekuatan pekerja. Namun, para pekerja Argentina tetap meyakini bahwa harapan mereka tidak bisa diwakilkan pada politisi, partai maupun presiden demi presiden yang berkuasa di negeri itu. Tidak juga kepada selebriti seperti Maradona.

Di tengah keterbatasan tersebut, mereka mengenyampingkan tekanan negara yang terus menerus berupaya mengusir pekerja dari pabrik untuk kemudian diambil kembali oleh para kapitalis. Negara dan perangkat militerisnya memang menjadi alat ampuh bagi orang kaya untuk mendominasi perekonomian.
Peralatan tua dan suku cadang yang langka telah memaksa penurunan produksi karena mereka tidak bisa memperbaikinya. Namun ini justru menginspirasi para pekerja untuk membangun jaringan dan solidaritas internasional agar dapat menyelesaikan keterbatasan ini. Mereka berkomunikasi lewat internet dan jaringan radio untuk mencari suku cadang maupun tenaga teknisi untuk membantu mereka.

Masalah lainnya adalah rendahnya permintaan, dimana dalam logika umum kapitalisme, dapat membahayakan keberlangsungan ekonomi. Sebagai jawabannya, para pekerja membangun perekonomian yang relatif mandiri dimana hasil produksi disalurkan ke masyarakat sekitar melalui Dewan Warga. Saling suplai kebutuhan juga berlangsung antar perusahaan. Pertukaran barang dan jasa ini telah dengan telak menghempaskan peranan uang, meskipun hanya dalam jangka beberapa tahun sebelum mereka direpresi oleh kolaborasi kapital dan negara.

Swakelola telah membangun harapan baru pekerja Argentina. Bukan saja pada perbaikan ekonomi yang relatif membaik sejak krisis, namun juga peluang untuk membangun dunia baru tanpa dominasi dan kontrol terbuka lebar. Mematahkan mitos-mitos lama bahwa hanya buruhlah (pekerja industrial) satu-satunya kelompok yang dapat membangun gerakan revolusioner, di Argentina semua elemen proletariat memiliki kontribusi yang sama kuatnya. Hal tersebut salah satunya berkat model swakelola yang memungkinkan partisipasi semua kelompok dan sektor lebih merata.

Para pengangguran dan proletariat jalanan (piqueteross) mengorganisir pendudukan dan sabotase ekonomi kapitalis secara otonom. Mereka menjadi tulang punggung radikal bagi gerakan ini. Dengan membangun organisasi otonom, aktifitas mereka pun dikendalikan secara swakelola.

Para jurnalis dan praktisi media mengorganisir saluran-saluran Televisi untuk digunakan sebagai alat kampanye dan informasi komunikasi gerakan. Mereka juga mengorganisir diri secara otonom, dan membangun struktur non-hirarkis. Para guru dan pelajar juga menduduki sekolah-sekolah dan kampus, mengujicobakan pengelolaan pendidikan di tangan komunitas. Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan pusat-pusat kesehatan, serta dapur-dapur umum yang kesemuanya dikelola secara otonom.

Mereka membangun solidaritas dengan buruh-buruh pabrik, karyawan-karyawan di perusahaan yang telah diduduki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan Komite Popular, dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat dalam struktur yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Dimana peran politisi, partai dan negara sekalipun sama sekali tidak dibutuhkan!

Meski begitu, kelas pekerja Argentina membutuhkan oto-kritik terus menerus untuk menghadirkan kemajuan gerakan. Bermula dari keretakan di antara mereka yang terlalu banyak bergantung pada politisi dan kelas menengah. Dua front besar MNFR dan MNER pecah disebabkan perbedaan mereka dalam menyikapi tekanan kapitalis dan negara. Para pekerja yang lengah akhirnya disusupi para politisi Kiri untuk membawa mereka ke arena politik parlementariat. Pada kenyataannya memang pabrik dan perusahaan serta komite-komite komunitas secara konsisten diterpa tekanan dari pemerintah dan kapitalis. Lewat jalur hukum, negara memperkarakan status perusahaan yang diambil alih para pekerja.

Dan akhirnya meski gelombang represi militer dan milisi sipil bayaran kapitalis terus menghantam membuat beberapa perusahaan swakelola akhirnya kalah, namun masih banyak yang terus beroperasi dengan sistem swakelola pekerja (worker's self-management). Mereka terus mempertahankan otonominya dan hubungannya dengan masyarakatnya, dan telah melampaui dua wajah kapitalisme privat maupun kapitalisme negara. []

Label: , , , , ,

Tanpa Hak Cipta (A) 2008. Tampilan terbaik gunakan browser open source. Kunjungi juga 'Kamerad Kontinum' :
Apokalips Affinitas komunitas merah hitam katalis Proyek Perpustakaan Libertarian Online