OTONOMI VS OTORITAS
oleh : Bahar Dg Lontang & Josh Al Diwani
Dalam kehidupan modern, dominasi kapitalisme semakin kompleks merias diri. Pengaburan makna setiap kegiatan kerja keseharian serta pergeseran esensi akan kehidupan adalah sesuatu hal yang pasti. Dimana seluruh kehidupan tersubordinasi kemudian diproyeksikan hanya pada kerja, kerja, dan kerjayaitu kerja-upahan, dalam tataran memproduksi komoditas.
Dalam kehidupan modern, dominasi kapitalisme semakin kompleks merias diri. Pengaburan makna setiap kegiatan kerja keseharian serta pergeseran esensi akan kehidupan adalah sesuatu hal yang pasti. Dimana seluruh kehidupan tersubordinasi kemudian diproyeksikan hanya pada kerja, kerja, dan kerjayaitu kerja-upahan, dalam tataran memproduksi komoditas.
Pabrik dimana kelas pekerja melakukan aktifitas kerja tak lagi terhalang sekat-sekat dinding industri manufaktur namun dalam tatanan masyarakat secara keseluruhan telah berwujud Pabrik Sosial. Hal ini menandakan sistem dominan hari ini dengan segala tendesinya mengabolisi otonomi setiap individu dan mensubordinasikannya pada kerja. Fase manufakturisasi dalam kehidupan keseharian ini secara keseluruhan mereduksi banyak hal yang pada akhirnya komunikasi antar individu dalam kelompok sosial juga tersingkirkan.
Jika pabrik sosial hanya menggiring kita pada proses reproduksi kapital dalam aktifitas kehidupan sehari-hari tanpa sadar, lalu jalan apa yang musti ditempuh untuk keluar dari kungkungan tatanan pabrik sosial? Tawaran non-otoritarian dapat berupa pengedepanan otonomi kelas pekerja dalam penghancuran otoritas yang telah memenjarakan hidup ini.
Harry Cleaver menguraikan Otonomi Kelas Pekerja, setidaknya dalam empat hal :
A. Swa-aktifitas Kelas Pekerja versus Kapital.
Swa-aktifitas (self-activity) adalah strategi perlawanan kelas pekerja dengan melakukan sesuatu di luar konteks Kerja Upahan, atau tidak ada hubungannya dengan Kerja yang bertujuan menghalang-halangi dan menghambat proses akumulasi kapital. Saat berada dalam relasi kerja dimana kelas pekerja diintegrasikan dalam sistem kerja, otonomi kelas pekerja tidak eksis dan tidak memiliki otonomi untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, melainkan tetap patuh dalam otoritas majikan kapitalis. Satu-satunya cara mencapai otonomi tersebut adalah dengan cara mengembangkan aktifitas-aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan konteks kerja, bahkan dapat mengacaukan proses produksi. Swa-aktifitas memutus relasi kapital, yang lalu dapat ditransformasikan menuju penghancuran kapital. Sabotase, pemogokan, pembangkangan dan aksi langsung lainnya memberikan keleluasaan kelas pekerja untuk menggunakan kekuatannya dalam menghadapi penindasnya.
B. Otonomi Kelas Pekerja versus Serikat Pekerja
Salah satu masalah utama yang dihadapi kelas pekerja adalah masih eksisnya serikat-serikat pekerja birokratis yang terkadang di back-up oleh partai politik atau malah sengaja dibentuk oleh pemodal sendiri guna mengintervensi pengambilan keputusan dalam serikat pekerja. Parahnya serikat pekerja inilah satu-satunya bentuk organisasi yang dikenal oleh kelas pekerja. Yang terjadi, kelas pekerja kehilangan otonominya sebab serikat pekerja hanya menjadi alat dari kapital untuk menekan kelas pekerja melalui pimpinan atau elit-elit organisasinya. Serikat pekerja tidak menjamin kebebasan kelas pekerja. Ini terutama pada serikat-serikat birokratis yang hirarkis dimana seluruh keputusannya berada di tangan elit dan pimpinan organisasi dan kontrol yang minim dari bawah.
Untuk merebut otonomi, kelas pekerja mesti melampaui birokrasi-birokrasi yang hanya menjadi penghalang kebebasan dan perintang langkah pekerja melakukan perlawanan. Sebuah organisasi kelas pekerja mesti mengusung otonomi kelasnya, dan mesti berhati-hati atas segala birokrasi dalam strukturnya yang seringkali mengatasnamakan 'disiplin revolusioner' maupun 'kesatuan tindakan'. Hanya kelas pekerjalah yang mampu membebaskan dirinya, bukan elit pimpinan.
C. Otonomi Kelas Pekerja versus Partai Politik
Pandangan tipikal yang berkembang adalah kelas pekerja tidaklah cukup mampu menghancurkan kapital, oleh karenanya butuh 'kepemimpinan' partai revolusioner pelopor dan sejenisnya untuk mengarahkan pekerja menuju revolusi. Masalahnya, partai politik kadang merasa lebih memahami persoalan yang dihadapi kelas pekerja, sehingga merasa berhak menentukan langkah apa yang terbaik dan paling benar.
Oleh karena model otoriter yang terkandung dalam setiap partai politik, maka sentralisme dalam pengambilan keputusan juga tidak luput. Kelas pekerja tidak akan bermakna apa-apa selain menjadi sekumpulan ternak yang bersedia digiring kemana sang gembala inginkan. Apa yang seringkali terjadi justru adalah penghianatan demi penghianatan yang dilakukan pimpinan partai, atau menghambat bagaimana kelas pekerja menentukan nasib sendiri. Semua ini dilakukan atas nama perjuangan tersebut adalah bukti bahwa kelas pekerja mesti menjaga otonominya. Para proletariat dapat mengembangkan sebuah organisasi atau model yang fungsinya memberikan edukasi dan advokasi pada anggotanya, tanpa tendensi mengarahkan atau mengembalakan kelas pekerja atau pola birokratis, sentralistik dan hirarkis.
D. Otonomi antar Kelas Pekerja
Keseluruhan kelas pekerja, yaitu mereka para proletariat modern yang mencakup buruh, karyawan, ibu rumah tangga, mahasiswa, pengangguran dan sebagainya juga perlu senantiasa menjaga otonomi masing-masing. Otonomi antar kelas pekerja ini sangatlah penting dalam pencapaian harmoni sosial yang lebih luas.
Otonomi tersebut juga merangsang kelas pekerja untuk memajukan kesadarannya, menentukan keputusan apa yang terbaik, melaksanakan proyek-proyek lintas komunitas yang diperlukan seperti membangun radio komunitas, mendirikan surat kabar, pendistribusian makanan, pelayanan publik, mengorganisir sekolah, klinik, mendukung pendudukan lahan, dan sebagainya. Kesemua itu dilakukan untuk melawan institusi sosial yang telah eksis dan mentransformasikan masyakat menjadi non-kapitalis.
Dengan membangun kelompok kelas pekerja swa-aktifitas dan non-hirarkis serta penghancuran struktur birokratis di dalamnya dapat menjamin keterputusan pengambilan keputusan secara horizontal, yaitu pengambilan keputusan sepenuhnya berada di bawah kontrol pekerja itu sendiri tanpa terjebak bentuk birokrasi dalam pengambilan keputusan serta langkah-langkah pekerja untuk melakukan perlawanan.
Otonomi kelas pekerja merebut faktor produksi mesti dilanjutkan dengan swa-kelola agar relasi sosial tidak direproduksi seperti yang direproduksi dalam Pabrik Sosial. Kelas pekerja tidak ada pilihan lain kecuali mengorganisir diri mereka sendiri membentuk kelompok/dewan pekerja dan secara langsung mengambil alih ekonomi dan semua aspek yang mencakup rekonstruksi dari hidup kemasyarakatan, menyatakan otonomi mereka vis - à - vis terhadap sistem apapun yang melegalkan berbagai bentuk kepemimpinan representatif, negara atau serikat dagang, dan penyatuan diri mereka dengan satu sama lain dalam regional dan seluruh negara. Semua ini bergantung pada kesadaran kelas pekerja dan kapasitas untuk membangun organisasi otonomi.
Pekerja dapat mendirikan kelompok/federasi yang terdesentrailsasi dari dewan komunitas dan tempat mereka bekerja. Sehingga dewan pekerja ini terbentuk penyetaraan di dalamnya (demokrasi partisipatoris), dimana semua orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bersuara dalam penentuan arah kelompok/komunitas. Biasanya para pemimpin perserikatan juga puas dengan kebutuhan hanya menemukan bahwa mereka tidak dapat “memenangi” jauh lebih pada kerangka dari ekonomi yang sudah ada, tapi bahwa mereka dapat melakukan pengambilan segalanya dengan mentransformasikan semua basis dari ekonomi atas diri mereka sendiri.[]
Swa-aktifitas (self-activity) adalah strategi perlawanan kelas pekerja dengan melakukan sesuatu di luar konteks Kerja Upahan, atau tidak ada hubungannya dengan Kerja yang bertujuan menghalang-halangi dan menghambat proses akumulasi kapital. Saat berada dalam relasi kerja dimana kelas pekerja diintegrasikan dalam sistem kerja, otonomi kelas pekerja tidak eksis dan tidak memiliki otonomi untuk melakukan sesuatu berdasarkan kehendaknya, melainkan tetap patuh dalam otoritas majikan kapitalis. Satu-satunya cara mencapai otonomi tersebut adalah dengan cara mengembangkan aktifitas-aktifitas yang tidak ada hubungannya dengan konteks kerja, bahkan dapat mengacaukan proses produksi. Swa-aktifitas memutus relasi kapital, yang lalu dapat ditransformasikan menuju penghancuran kapital. Sabotase, pemogokan, pembangkangan dan aksi langsung lainnya memberikan keleluasaan kelas pekerja untuk menggunakan kekuatannya dalam menghadapi penindasnya.
B. Otonomi Kelas Pekerja versus Serikat Pekerja
Salah satu masalah utama yang dihadapi kelas pekerja adalah masih eksisnya serikat-serikat pekerja birokratis yang terkadang di back-up oleh partai politik atau malah sengaja dibentuk oleh pemodal sendiri guna mengintervensi pengambilan keputusan dalam serikat pekerja. Parahnya serikat pekerja inilah satu-satunya bentuk organisasi yang dikenal oleh kelas pekerja. Yang terjadi, kelas pekerja kehilangan otonominya sebab serikat pekerja hanya menjadi alat dari kapital untuk menekan kelas pekerja melalui pimpinan atau elit-elit organisasinya. Serikat pekerja tidak menjamin kebebasan kelas pekerja. Ini terutama pada serikat-serikat birokratis yang hirarkis dimana seluruh keputusannya berada di tangan elit dan pimpinan organisasi dan kontrol yang minim dari bawah.
Untuk merebut otonomi, kelas pekerja mesti melampaui birokrasi-birokrasi yang hanya menjadi penghalang kebebasan dan perintang langkah pekerja melakukan perlawanan. Sebuah organisasi kelas pekerja mesti mengusung otonomi kelasnya, dan mesti berhati-hati atas segala birokrasi dalam strukturnya yang seringkali mengatasnamakan 'disiplin revolusioner' maupun 'kesatuan tindakan'. Hanya kelas pekerjalah yang mampu membebaskan dirinya, bukan elit pimpinan.
C. Otonomi Kelas Pekerja versus Partai Politik
Pandangan tipikal yang berkembang adalah kelas pekerja tidaklah cukup mampu menghancurkan kapital, oleh karenanya butuh 'kepemimpinan' partai revolusioner pelopor dan sejenisnya untuk mengarahkan pekerja menuju revolusi. Masalahnya, partai politik kadang merasa lebih memahami persoalan yang dihadapi kelas pekerja, sehingga merasa berhak menentukan langkah apa yang terbaik dan paling benar.
Oleh karena model otoriter yang terkandung dalam setiap partai politik, maka sentralisme dalam pengambilan keputusan juga tidak luput. Kelas pekerja tidak akan bermakna apa-apa selain menjadi sekumpulan ternak yang bersedia digiring kemana sang gembala inginkan. Apa yang seringkali terjadi justru adalah penghianatan demi penghianatan yang dilakukan pimpinan partai, atau menghambat bagaimana kelas pekerja menentukan nasib sendiri. Semua ini dilakukan atas nama perjuangan tersebut adalah bukti bahwa kelas pekerja mesti menjaga otonominya. Para proletariat dapat mengembangkan sebuah organisasi atau model yang fungsinya memberikan edukasi dan advokasi pada anggotanya, tanpa tendensi mengarahkan atau mengembalakan kelas pekerja atau pola birokratis, sentralistik dan hirarkis.
D. Otonomi antar Kelas Pekerja
Keseluruhan kelas pekerja, yaitu mereka para proletariat modern yang mencakup buruh, karyawan, ibu rumah tangga, mahasiswa, pengangguran dan sebagainya juga perlu senantiasa menjaga otonomi masing-masing. Otonomi antar kelas pekerja ini sangatlah penting dalam pencapaian harmoni sosial yang lebih luas.
Otonomi tersebut juga merangsang kelas pekerja untuk memajukan kesadarannya, menentukan keputusan apa yang terbaik, melaksanakan proyek-proyek lintas komunitas yang diperlukan seperti membangun radio komunitas, mendirikan surat kabar, pendistribusian makanan, pelayanan publik, mengorganisir sekolah, klinik, mendukung pendudukan lahan, dan sebagainya. Kesemua itu dilakukan untuk melawan institusi sosial yang telah eksis dan mentransformasikan masyakat menjadi non-kapitalis.
Dengan membangun kelompok kelas pekerja swa-aktifitas dan non-hirarkis serta penghancuran struktur birokratis di dalamnya dapat menjamin keterputusan pengambilan keputusan secara horizontal, yaitu pengambilan keputusan sepenuhnya berada di bawah kontrol pekerja itu sendiri tanpa terjebak bentuk birokrasi dalam pengambilan keputusan serta langkah-langkah pekerja untuk melakukan perlawanan.
Otonomi kelas pekerja merebut faktor produksi mesti dilanjutkan dengan swa-kelola agar relasi sosial tidak direproduksi seperti yang direproduksi dalam Pabrik Sosial. Kelas pekerja tidak ada pilihan lain kecuali mengorganisir diri mereka sendiri membentuk kelompok/dewan pekerja dan secara langsung mengambil alih ekonomi dan semua aspek yang mencakup rekonstruksi dari hidup kemasyarakatan, menyatakan otonomi mereka vis - à - vis terhadap sistem apapun yang melegalkan berbagai bentuk kepemimpinan representatif, negara atau serikat dagang, dan penyatuan diri mereka dengan satu sama lain dalam regional dan seluruh negara. Semua ini bergantung pada kesadaran kelas pekerja dan kapasitas untuk membangun organisasi otonomi.
Pekerja dapat mendirikan kelompok/federasi yang terdesentrailsasi dari dewan komunitas dan tempat mereka bekerja. Sehingga dewan pekerja ini terbentuk penyetaraan di dalamnya (demokrasi partisipatoris), dimana semua orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam bersuara dalam penentuan arah kelompok/komunitas. Biasanya para pemimpin perserikatan juga puas dengan kebutuhan hanya menemukan bahwa mereka tidak dapat “memenangi” jauh lebih pada kerangka dari ekonomi yang sudah ada, tapi bahwa mereka dapat melakukan pengambilan segalanya dengan mentransformasikan semua basis dari ekonomi atas diri mereka sendiri.[]
Label: Jurnal, Jurnal 2, Otonomi, Pabrik Sosial
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda