Jumat, 10 Oktober 2008

SEKALI LAGI TENTANG INSTITUSI SOSIAL

oleh : Nelson Al Qasy

Seringkali kita menganggap institusi sosial seperti sekolah, pusat layanan kesehatan, media massa dan lainnya, adalah wadah untuk memediasi kepentingan orang banyak entah itu menyakut soal kesehatan, peningkatan kualitas pengetahuan dan lainnya. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa dalam memediasi kepentingan orang banyak tersebut ada tujuan-tujuan lain yang kasat mata atau 'terselubung' secara langsung ikut berjalan? Atau justru kenapa ada pertanyaan semacam ini?

Institusi sosial layaknya sebuah pondasi yang direhabilitasi secara permanen guna mempertahankan sebuah sistem dominan/tatanan global yang berjalan dalam aktivitas keseharian masyarakat umum. Pandangan umum tentang manfaat dari institusi sosial mungkin tak perlu dijelaskan disini karena telah dijelaskan melalui berbagai media dan kita pun mungkin sudah mengetahuinya. Tapi kita perlu menyelidiki mengenai apa yang terselubung dan logika yang terkandung dalam institusi sosial sebagai suatu perangkat yang mendukung terjadinya ketimpangan dan keterpurukan dalam berbagai bentuk saat ini.

Sekolah sebagai Pabrik Tenaga Kerja
Sekolah berfungsi mengkanalisasi aktifitas transformasi pengetahuan ke dalam bentuk aktifitas akumulasi kapital. Atau dalam bahasa populernya sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, yaitu 'jasa pengetahuan'. Jika pengetahuan dirasa abstrak, mungkin lebih konkrit jika kita katakan bahwa komoditas atas jasa pengetahuan dari perusahaan tersebut adalah 'hal-hal yang berpengetahuan'.

Para Presiden, hakim, para jendral militer, para korporat, atau politisi dan masih banyak lagi yang bisa disebutkan adalah produk yang dibuat oleh sekolah. Mereka terbukti sampai saat ini tidak menghasilkan loncatan kualitas dan transformasi pengetahuan yang otonom dan merata kepada banyak orang.

Keahlian menjadi presiden, hakim, jendral militer jelas sangat dibutuhkan oleh Negara untuk menjaga stabilitas sosial agar relasi Kapital dapat terus berlangsung tanpa jeda. Tujuan bersekolah bukan untuk memperoleh loncatan kualitas pengetahuan untuk kehidupan yang lebih baik, tetapi adalah sebuah keharusan untuk mempersiapkan calon-calon pekerja masa depan. Persis modus Politik Etis di awal abad 20 yang menipu untuk mencerdaskan masyarakat, namun pada intinya untuk merekrut tenaga-tenaga administratif siap pakai untuk memperkuat penjajahan atas masyarakat itu kembali. Dan dewasa ini, calon pekerja tersebut dididik mulai dari sekolah dasar sampai masuk universitas untuk memahami dan mengimplementasikan pengtahuannya agar kelak di kemudian hari dapat mengisi posisi dalam sistem dominan.

Dalam konteks Pabrik Sosial, sekolah memproduksi tenaga kerja sebagai komoditinya. Merekalah para lulusan dan sarjana yang kemudian dijajakan untuk dipakai demi kelancaran akumulasi kapital (baca: dunia kerja). Sekolah juga berfungsi sebagai tempat pembuatan nilai jual (valorization) melalui rasio akademis, dimana lulusannya dinilai dan distandarisasi berdasarkan hal tersebut. Tentunya, di sekolahlah tempat para pekerja masa depan diciptakan. Mereka dibentuk, didisiplinkan dan disetting sesuai kebutuhan kapital. Para pelajar dan mahasiswa bekerja dengan cara belajar sebuah pengetahuan, untuk menciptakan dirinya sebagai komoditi unggul. Kepintarannya tidak ada hubungannya dengan kehidupan atau masyarakat, namun pada seberapa berkontribusinya mereka dalam pengakumulasian kapital.

Sekolah adalah pusat penyaringan sosial, kaderisasi dan pelatihan bagi para pekerja. Pekerja yang belum ahli dan tidak memiliki kesiapan beradaptasi di dunia kerja akan dididik, didisiplinkan dan disuntikkan nilai serta orientasi hidup yang relevan dengan akumulasi kapital. Sekolah adalah mesin cetak yang baik untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang penurut dan tidak memiliki keinginan untuk bebas dan merengkuh hidupnya.

Media Massa sebagai Pabrik Opini dan Kanal Kebenaran
Tidak dapat dipungkiri bahwa menghadang deras arus informasi saat ini adalah sebuah hal yang terlampau percuma dilakukan. Ini mengacu pada sifat paradoksal dari teknologi informasi itu sendiri. Satu sisi teknologi menjadi rantai penunjang bagi sistem dominan saat ini, tapi di sisi lainnya secara tak langsung menyediakan lintasan peluru bagi dirinya sendiri.

Arus informasi yang begitu massif memang tidak dapat dibendung tapi hal ini bisa diarahkan dan dialihkan. Proses pengalihan tersebut membutuhkan perangkat/institusi yang khusus menangani bidang ini. Nah, disinilah media memiliki peranan yang sangat vital dalam menjaga opini termasuk juga menyensor dan memasung informasi yang terbangun di masyarakat.

Tugas-tugas hegemoni dijalankan dengan baik oleh media massa, tidak pemaksaan yang kasat mata akan tetapi dimediasi lewat proses komunikasi yang sungguh massif. Media massa berguna untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan/yang dianggap penting oleh pasar yaitu semua jenis informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat yang hidup dalam budaya dominan.

Media massa adalah alat kapital untuk selalu menjaga stok opini untuk membangun pola pikir yang terkontrol, terjajah dan terdisiplinkan. Yaitu untuk menjaga masyarakat agar tetap berfikir normal, orang tidak merasakan kemungkinan adanya individu yang berfikir lain bahwa 'ada yang salah dengan dunia ini'.

Media massa adalah mesin dalam pabrik sosial, yang memproduksi keinginan yang tidak dibutuhkan demi kelancaran konsumsi dan akumulasi kapital. Masyarakat non-kapitalis ditransformasikan menjadi masyarakat kapitalis yang berlandaskan jual-beli dan kerja upahan lewat gencarnya informasi yang mendominasi pemahaman kolektif.

Pusat layanan kesehatan sebagai reservasi tenaga pekerja
Hampir semua orang tahu bahwa untuk mendapatkan layanan kesehatan saat ini mesti melalui transaksi jual-beli yang rumit. Kita jangan menipu diri sendiri, contoh yang paling sering kita jumpai misalnya dalam rumah sakit, layanan kesehatan yang diberikan bukanlah berdasarkan diagnosis penyakit tapi lebih pada kemampuan seorang secara finansial dan strata sosialnya di masyarakat. Kesehatan bukan lagi dalam tujuan meningkatkan kualitas hidup, namun tak lebih sebagai komoditas sekaligus pit stop bagi para pekerja yang kendor dan mesti di-charge agar terus dapat bekerja.

Tatanan sosial mesti selalu stabil untuk menjaga proses perputaran modal. Pekerja yang sakit dapat menghambat dan mempengaruhi proses produksi dan akumulasi. Karenanya diperlukan pemulihan, bukan dalam tujuan menjadikan kualitas hidup kelas pekerja lebih meningkat tapi dalam rangkaian menjaga agar mereka dapat terus menerus bekerja dan bekerja. Layaknya mobil, saat mogok harus dikirim ke bengkel untuk diservis agar dapat kembali berfungsi. Dan bengkel yang sering kita datangi saat sakit adalah Rumah Sakit. Rumah sakit membuat pekerja kembali berfungsi mengakumulasikan kapital demi kapital untuk para majikan.

Organisasi sosial sebagai kanal ekspresi dan polisi moral
Partai politik, LSM, lembaga kebudayaan, lembaga keagamaan dan hukum dan lain sejenisnya memiliki fungsi dan tujuan dasar yang secara khusus tidak berbeda dari institusi sosial sebelumnya awal yaitu, sebagai salah satu roda penggerak sistem dominan (pabrik sosial) dan menempati salah satu bagian paling vital dalam struktur kenegaraan untuk proses ideologisasi. Perangkat inilah yang digunakan untuk mengarahkan, membentuk, memasung, melenyapkan, mengkanalisasi semua bentuk kehidupan agar berjalan sesuai dengan hukum-hukum kapital dan otoritas yang pada akhirnya membuat keduanya (Negara dan kapital) tampak kelihatan wajar adanya.

Ekspresi politik mesti diarahkan ke partai politik, hasrat peduli ke LSM, patokan norma dan benar-salah ada di lembaga keagamaan dan hukum, atau kegiatan berkesenian dinaungi lembaga kebudayaan. Kesemuanya diorganisir untuk tetap menjaga agar proses-proses berpolitik, bersolidaritas sosial, berkesenian, atau menjalani kehidupan spiritual dan religious tetap relevan dan tidak berseberangan dengan proses akumulasi kapital.

Relasi negara, institusi sosial dan kapital
Negara mengandung logika merawat diri. Kekuasaan yang terkandung di dalamnya akan senantiasa dijaga tak peduli siapa pun yang memegang kekuasaan. Selain eksis karena adanya dimana sebagai alat perpanjangan tangan oleh dominasi kapital melalui perangkat kekerasan (militer, peradilan dan polisi) maupun ideologisnya (sekolah, lembaga keagamaan, lembaga sosial).

Institusi sosial yang ada adalah alat kekuasaan 'ideologis dan represif' sebagai respon material/kenyataan fisik dan historis yang berlangsung dalam masyarakat kontemporer. Ini juga salah satu kerja ekstra dari perangkat ini adalah mendekonstruksi hubungan sosial yang seharusnya horisontal menjadi hubungan vertikal dari bawah ke atas ataupun sebaliknya sehingga secara perlahan membentuk kerangka sistematis yang kokoh bagi suatu struktur kekuasaan yang ada. Hanya dengan model seperti ini Pabrik Sosial dapat tegak dan terus berproduksi.

Kebutuhan akan informasi dalam bentuk tranformasi pengetahuan dimediasi oleh lembaga pendidikan, kebutuhan spiritual dan rohani dilembagakan dan dipisahkan dari jiwa manusia yang otonom agar sesuai dengan logika kapital dan kekuasaan. Untuk melindungi dan menjaga stabilitas serta keamanan bagi proses kapitalisasi kehidupan dibuatlah lembaga hukum yang mengatur segala bentuk perilaku sosial dan politik masyarakat yang hidup dalam Negara. Institusi militer bertugas mengancam dan merepresi, bahkan meniadakan setiap aktifitas yang mengancam stabilitas ekonomi, politik dan sosial Negara.

Dalam pabrik sosial, semua institusi sosial telah ditranformasikan sebagai alat untuk menjaga agar rutinitas kerja, kemonotonan hidup, kemiskinan filsafat serta kebosanan-kebosanan lainnya sebagai satu fonomena yang biasa-biasa saja dan tak butuh penghancuran. Institusi sosial menjaga agar negara dan kapital tetap eksis, karena hanya dengan kolaborasi tersebutlah mesin-mesin dalam pabrik sosial dapat terus mengakumulasi kapital. Hal ini dalam kaitannya dengan Negara adalah mencoba membalik logika kontradiksi pokok (penghapusan kelas dan hirarki dalam kehidupan dan pengabolisian kapital ) dan kontradiksi dasar (sandang, pangan, dan papan) menjadi sebaliknya. Yaitu mencoba seolah-olah memenuhi kontradiksi dasarnya saja yang salah satunya diwadahi oleh institusi sosial dan menutup tabir kontradiksi pokok.

Kontradiksi pokok bukanlah menjadi kebutuhan Negara melainkan menjadi kebutuhan bagi tiap individu yang hidup dalam Negara beserta segala benturan dan kompromi yang dialaminya. Karena dengan terpenuhinya kontradiksi pokok, Negara tak lagi dibutuhkan oleh tiap pelaku aktifitas kehidupan entah itu manusia ataupun makhluk hidup lainnya.

Langkah coba-coba bukanlah cara yang buruk untuk mempelajari bagaimana cara membuat pesawat terbang, tapi bisa menjadi cara yang sangat berbahaya untuk mempelajari bagaimana membangun sebuah peradaban
(Daniel Quinn)

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

Tanpa Hak Cipta (A) 2008. Tampilan terbaik gunakan browser open source. Kunjungi juga 'Kamerad Kontinum' :
Apokalips Affinitas komunitas merah hitam katalis Proyek Perpustakaan Libertarian Online