Jumat, 10 Oktober 2008


Sepanjang tahun 2007, setidaknya 17 Pilkadal telah diselenggarakan di sejumlah daerah di Indonesia dan menyusul 49 lagi pada 2008 ini. Oleh banyak pihak, pemilihan kepala daerah, presiden dan anggota parlemen secara langsung disebut-sebut sebagai contoh bagaimana demokrasi di Indonesia sedang menguat. Dengan kata lain rakyat semakin dilibatkan dalam gelanggang demokrasi. Benarkah demikian?


Anggapan bahwa demokrasi di Indonesia sedang menguat didasarkan pertama pada model pemilihan yang berlangsung secara langsung (one man one vote) dimana rakyat dapat secara bebas memilih kandidat yang akan mewakili atau memimpinnya. Kedua, pemilihan langsung tidak hanya berlangsung pada pemilihan presiden atau parlemen pusat, namun juga berlangsung sampai pada tingkatan terbawah, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) baik Gubernur maupun Bupati/Walikota. Serta ketiga, dibentuknya lembaga pengawas pemilu, dan mengundang pengamat swasta/swadaya masyarakat bahkan luar negeri untuk meyakinkan bahwa proses pemilu berjalan dalam koridor demokrasi.

Jika dibandingkan dengan masa lampau, argumen tersebut membenarkan bahwa tatanan sekarang lebih demokratis, lebih transparan dan akomodatif. Terlebih beberapa perangkat lain dalam masyarakat modern turut diciptakan seperti Undang-undang Kebebasan Pers atau kebebasan berserikat. Sepertinya semua persyaratan telah dipenuhi untuk mencapai sebuah titik bernama 'demokratis' dan membenarkan pernyataan seorang pengamat politik bahwa dengan relatif lancarnya Pilkada-pilkada di seluruh wilayah menyusul keberhasilan pilpres 2004 lalu, telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia.

Kericuhan sebagai ciri-ciri demokrasi
Jelas, kita tidak akan percaya begitu saja dengan anggapan-anggapan tersebut, terlebih jika memperhatikan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Mari ambil sebuah contoh hangat dimana pemberitaan media massa tentang Pilkadal di berbagai daerah memunculkan hal yang kemudian menjadi ciri dari penyelanggaraan 'pesta demokrasi' itu : kericuhan.

Tak bisa dipungkiri kericuhan, yang mengambil bentuk mulai dari pengerahan (mobilisasi) massa besar-besaran, protes dan perselisihan hasil pilkadal, demonstrasi menduduki kantor KPU, hingga kerusuhan dan bentrok fisik antar pedukung, menyertai hampir seluruh proses 'demokratik' tersebut. Kejadian-kejadian ini terus terjadi pada hampir semua proses pilkada, yang secara lambat laun menjadi kesimpulan dangkal, bahwa dalam demokrasi, kericuhan adalah hal lumrah dan wajar. Kericuhan bahkan kerusuhan yang telah merambat dan mengganggu kepentingan umum (bahkan menjalar kepada mereka yang tidak berkepentingan dengan urusan itu) dianggap sebagai hal lazim yang menurut bahasa para analis politik dipandang sebagai konsekuensi dan ongkos sosial (social cost).

Dari sini muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah sekelompok orang yang membela kandidat tertentu juga berarti membela kepentingan mereka sendiri? Apakah kepentingan mereka sama dengan kepentingan politisi itu? Bukankah mustahil sekelompok orang yang memiliki keinginan A akan mendukung orang berkeinginan bertolakbelakang dengan A. Sekelompok pedagang kaki lima yang akan digusur dan dilarang berjualan di jalan-jalan utama kota, pastilah menitipkan suara mereka kepada kandidat yang menolak penggusuran tersebut. Petani yang dirugikan dengan masuknya beras impor tentu akan menitipkan aspirasinya ke wakil mereka yang akan menolak kebijakan tersebut. Begitu juga para pengusaha akan bersatu mendorong perwakilan mereka untuk membuat aturan yang melindungi investasinya dan menekan ongkos produksi.

Logikanya, jika masyarakat pada umumnya memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih baik, lantas mengapa yang terjadi adalah sebaliknya? Lapangan kerja menyusut, pengangguran berlipat, kelaparan dan kemiskinan meluas, rusaknya sistem sosial, dan menyusutnya kualitas hidup, disaat yang sama para politisi dan elit di parlemen maupun pemerintahan justru menikmati keistimewaannya secara politik maupun ekonomi, dengan semakin mapannya karir mereka. Siapakah yang mewakili siapa?

Apakah parlemen dan pemerintah muncul dari batu?
Tentu saja tidak. Kita memilih anggota parlemen dan pemerintah kita dengan mencoblosnya saat Pemilu. Dalam demokrasi perwakilan, pemilu adalah titik maksimum dari partisipasi politik seorang warga. Seorang warga hanya dibutuhkan perannya sekali dalam lima tahun (lima menit, bahkan!), yaitu pada saat mencoblos. Setelah itu, semua urusan dan kontrol mutlak diserahkan pada siapa yang kita pilih. Ini berarti segera setelah para politisi itu kita pilih, maka mereka bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya selama lima tahun! Termasuk membuat berbagai rupa aturan dan kebijakan yang dapat menyengsarakan hidup para pemilihnya!

Bukanlah kebetulan jika semua politisi yang terpilih dapat dengan mudah melupakan janji-janji, program atau kontrak politiknya yang diumbar dalam kampanye. Sebaik apapun dia, setinggi apapun dedikasinya pada publik, sesuci apapun niatnya, persoalan pertama yang harus diselesaikannya begitu mencapai kursi kekuasaan adalah mempertahankan kekuasaan itu. Dalam setiap kekuasaan, akan terbangun sebuah logika 'merawat diri' yang membuat siapapun, bahkan seseorang yang paling demokratis sekalipun, akan menafikkan prinsip demokrasi apapila kekuasaannya terancam.

Maka seperti selalu kita jumpai janji-janji dalam kampanye dapat dengan mudah dikhianati, ditelikung atau pun diulur-ulur. Alasan-alasan favorit para politisi adalah, “Saya tidak menyangka akan ada hal menghalangi saya untuk melaksanakan program yang saya janjikan”, “saya belum dapat memenuhi janji kampanye saya karena beberapa hal yang tidak terduga”. Atau mungkin, “Saya berubah pikiran!”

Takhayul-takhayul Demokrasi
Takhayul utama dari demokrasi perwakilan adalah setiap orang yang berpartisipasi dalam Pemilu berarti telah ikut menentukan jalannya pemerintahan, menentukan kemana uang publik digunakan, atau merancang aturan yang diterapkan. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Para anggota parlemen maupun pemerintah, entah yang berasal dari partai progresif dan selalu mengaku lebih maju dan revolusioner, atau orang paling baik hati sekali pun hanyalah kumpulan orang yang berasumsi mewakili sekelompok orang.

Dalam demokrasi perwakilan, keinginan masyarakat akan selalu terdistorsi oleh mekanisme yang ada. Sebagai contoh Kota Makassar Sulawesi Selatan yang berpenduduk 1.350.000 orang dengan jumlah anggota DPRD 45 orang, maka setiap 1 anggota parlemen mewakili 30.000 orang. Idealnya setiap orang anggota parlemen harus mampu mengetahui, menyerap dan menerjemahkan apa keinginan dan kemauan dari 30.000 orang yang diwakilinya untuk kemudian disalurkan dalam rapat-rapat dan sidang parlemen. Tetapi faktanya, tak pernah sekalipun keinginan 30.000 orang dapat tertampung dan terwadahi oleh satu orang anggota parlemen!

Untuk membuat sebuah kebijakan atau peraturan, kita tidak menemukan mekanisme dimana anggota parlemen atau pemerintah terlebih dahulu diharuskan untuk membawa persetujuan dari masyarakat terhadap aturan-aturan yang diberlakukan secara rinci pasal per pasal. Jika mereka melanggar kesepakatan, pemilihnya tidak bisa memecatnya sebagai wakil atau pemerintahnya.

Lantas, demokrasi perwakilan berjalan dengan memanipulasi keterwakilan. Inilah sistem yang sepenuhnya dijalankan dengan asumsi, bahwa ribuan bahkan jutaan orang di luar gedung parlemen, dan kantor pemerintah akan setuju terhadap keputusan-keputusan yang diambil. Kebijakan apapun diasumsikan akan disepakati oleh semua orang, yang telah mempercayakan nasib kehidupannya pada sekelompok orang yang memiliki hak istimewa hampir-hampir tanpa batas. Dengan mencoblosnya di pemilu, maka hal itu membuatnya memiliki legitimasi, persetujuan, dan pengakuan yang bagi pemerintah dan parlemen adalah alat yang legal untuk bertindak apa saja. Para anggota parlemen dan pemerintah selalu berpegangan bahwa mereka adalah wujud dari suara ribuan pemilihnya. Dalam hal apapun dan bagaimana pun! Dan Jika ada yang tidak setuju, dipersilahkan untuk menempuh jalur-jalur yang disediakan. Jika sekelompok orang menempuh jalur tersebut, ini akan memperkuat kesan bahwa mereka telah berpartisipasi dalam mengambil keputusan baru.

Kondisi seperti ini memberikan pembenaran bahwa jika keadaan menjadi buruk, maka kesalahan terletak pada person atau individu yang berada dalam sistem demokrasi ini. Pendeknya, segala morat-marit sosial yang terjadi di tingkatan sosial masyarakat adalah kesalahan dari para anggota parlemen, ketidakmampuan pemimpin dalam membentuk pemerintahan yang bersih dan tegas, moral politisi dan pejabat yang korup, atau ketidakberpihakan pada rakyat. Walaupun ini benar (bahwa kekuasaan tersebut korup, parlemen adalah rumah bordil, dan pemerintah jelaslah bobrok), tidak lantas memberikan jawaban utuh terhadap permasalahan tersebut. Masyarakat terus diilusi untuk terus menyelesaikan masalah dengan cara mengganti pemimpin, memilih anggota parlemen yang dirasa lebih bermoral dan lebih sensitif terhadap permasalahan rakyat. Tetapi berulang kali kita memilih pemimpin dan anggota parlemen, berulang kali pula kita menyaksikan bahwa pergantian orang, pemerintahan, partai pemenang pemilu, toh tidak juga merubah kondisi ril masyarakat.

Inilah kegagalan demokrasi perwakilan. Tidak memungkinkan setiap orang merepresentasikan dirinya, padahal mereka adalah pihak yang paling mengenal dan paham keinginannya masing-masing. Keterwakilan justru memutasi fakta bahwa sumber masalah bukanlah pada sistem dan mekanisme yang ada tetapi lebih disebabkan karena orang-orang di parlemen atau para pemimpin tidak cakap dalam memahami keinginan pemilihnya. Korupsi misalnya, selalu dianggap hanya kebobrokan personal seorang pejabat dan tidak pernah dilihat lebih luas dan dalam sebagai konsekuensi dari gagalnya sebuah sistem dimana publik tidak memiliki kuasa dalam mengontrol pemerintahan.

Tak ada demokrasi dalam kotak suara
Keadaan yang terus memburuk telah membimbing kesadaran banyak orang untuk mengubah realitas sosial ke arah lebih baik. Dan kesadaran itu semestinya selalu berpijak pada bukti di masa lalu dan yang sementara berlangsung. Kebangkrutan dan krisis demokrasi perwakilan tidak dapat direformasi untuk membawa kita ke arah yang lebih masuk akal, sebaik apapun komposisi orang-orang di parlemen dan pemerintah yang kita pilih untuk mewakili kita. Kotak suara dalam pemilu/pilkada tidak pernah menyediakan demokrasi sama sekali, melainkan alat untuk mencegah warga bertindak di luar toleransi.

Saat para politisi dan partainya berlomba-lomba mengemas diri untuk tampil lebih menarik dan simpatik, terkesan pro rakyat dan progresif, mengumbar jargon dan janji-janji surga, kita masih juga percaya dengan ilusi-ilusi usang bahwa perubahan dapat diciptakan dengan merebut kekuasaan, mengganti parlemen dan pemerintah dengan orang yang berpihak pada rakyat, adil dan memahami persoalan yang ada. Tanpa menghancurkan sumber petakanya, masyarakat akan tetap sebagai penonton, yang terwakilkan, yang diasumsikan akan selalu sepakat dengan keputusan yang diambil wakilnya. Dan kalau pun tidak sepakat, kita dibolehkan protes selama hal tersebut tidak melebih titik maksimal dari yang dibolehkan.

Dalam pemilu, kontrol atas hidup masih tetap bukan di tangan kita. Satu-satunya pilihan yang tersisa bagi kita adalah bertindak atas nama sendiri, atas nama komunitas sendiri. Dan demokrasi langsung masih merupakan alternatif realistis yang tersisa.][

Label: , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

Tanpa Hak Cipta (A) 2008. Tampilan terbaik gunakan browser open source. Kunjungi juga 'Kamerad Kontinum' :
Apokalips Affinitas komunitas merah hitam katalis Proyek Perpustakaan Libertarian Online