Jumat, 10 Oktober 2008

EDITORIAL : MIMPI-MIMPI KAMI TAKKAN MUAT DALAM KOTAK SUARA MEREKA

Tahun baru. Berbagai daerah di Indonesia akan dihibur oleh pertunjukan keliling layaknya kontes idola di televisi. Memilih bupati baru atau gubernurnya secara langsung. Setelah kemarin mereka juga memilih presiden dan wakil-wakilnya di parlemen, para terpilih telah duduk manis di kursinya masing-masing dan pemilih kembali ke rutinitas hariannya.

Tahun baru. Adakah yang baru? Kini, slogan-slogan tentang pendidikan dan kesehatan gratis yang dulunya radikal dan terkesan subversif, sekarang telah menjadi program favorit para politisi. Survival of the chickest. Yang paling jago mengemas dirilah yang akan menjadi pemenangnya.
Anak pertama ini adalah buah cinta kami yang lahir dengan penuh kasih dan canda tawa, serta rasa lelah tak terkira. Adalah hasil dari dialektika dalam rentang waktu tertentu, yang sempat menjelma menjadi frustasi setelah mendapati kenyataan bahwa sekumpulan orang yang menerikaan yel-yel yang sama, bergaya sama, memiliki watak yang sama, mengandalkan identitas yang sama, adalah kesimpulan dari sebuah perjuangan demokratis. Memulai langkah pertamanya dengan menyodorkan sebuah demitologisasi terhadap istilah paling populer bagi politisi, aktifis gerakan, dan aktifis calon politisi : demokrasi. Istilah ini berhamburan dari gedung parlemen hingga klub malam, dari media massa sampai gedung bioskop, lantas membuat maknanya semakin defisit dan dangkal.
Hidup di kota yang semakin hari semakin miskin makna ini, kami terjebak dalam tiga hal yang sekilas tak berhubungan tapi memiliki relasi kuat satu sama lainnya : Penggusuran warga miskin oleh Satpol PP, billboard yang menjajakan produk mahal yang tak mampu kami jangkau, serta kemuakan terhadap para politisi yang fotonya dipajang di jalan-jalan yang kami lalui setiap hari. Ketiganya hadir bersamaan dan saling menghadirkan!
Bukanlah saatnya mengumbar mimpi-mimpi tentang dunia lain atau sekedar teriak boikot pemilu, revolusi, tapi sekarang kami mengajak untuk berbicara tentang mengapa mimpi-mimpi tentang dunia yang bebas dan indah itu dianggap utopis. Tulisan-tulisan yang ada lahir dari ketidaksukaan akan pilihan yang ada. Persis seperti sebuah coretan di dinding kantor gubernur : kami bosan memilih!
Salama’

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda

Tanpa Hak Cipta (A) 2008. Tampilan terbaik gunakan browser open source. Kunjungi juga 'Kamerad Kontinum' :
Apokalips Affinitas komunitas merah hitam katalis Proyek Perpustakaan Libertarian Online